Presiden, dan Ubermensch
Dikutib dari KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menuding aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa telah diambil alih oleh para perusuh yang ingin menggagalkan pelantikan anggota DPR hasil Pemilu 2019 pada 1 Oktober mendatang.
Tidak hanya itu, Wiranto bahkan menuding para perusuh itu ingin menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu Presiden 2019 atau Pilpres 2019 pada 20 Oktober 2019.
"Kelompok yang mengambil alih bukan murni lagi mengkoreksi kebijakan. Mereka ingin menduduki DPR dan MPR agar tidak dapat melaksanakan tugasnya," kata Wiranto dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam pada Kamis (26/9/2019).
Maka melihat dan membatinkan kondisi kekinian seorang pemimpin atau presiden memerlukan mental yang melampuai. Ada banyak kajian dan tulisan yang memungkinkan pembahasan ini.
Pada tulisan di Kompasian ini saya meminjam pemikiran Nietzsche yang saya anggap relevan dengan kondisi ketidakpastian dan Negara penuh risiko bahkan mendekati [chaos]. Ramuan dan pemikiran Nietzsche bisa diambil kepala Negara agar Indonesia bisa menjadi lebih baik kedapannya.
Dilahirkan di Rocken dekat Leipzig, Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900) tumbuh dalam keluarga yang religius, dengan ayahnya menjadi pendeta Lutheran.
Pada tahun 1849, keluarga itu pindah ke Naumburg setelah kematian ayah Nietzsche, dan saudara perempuannya Elisabeth dibesarkan oleh ibu, nenek, dan dua bibi.
Friedrich muda unggul di sekolah dan, pada usia hanya 24, Nietzsche menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel orang termuda yang pernah ditunjuk untuk posisi itu.
Selama di Basel, Nietzsche menulis karya-karyanya yang pertama, Kelahiran Tragedi dan Manusia, Manusia Terlalu Manusia Seiring berjalannya waktu, kesehatannya menurun, dan Nietzsche meninggalkan karier akademisnya dan hidup sebagai manusia penyendiri [soliter].
Setelah mengundurkan diri dari posisinya di Basel pada tahun 1879, Nietzsche menghabiskan sebagian besar tahun 1880-an dalam pengasingan, tinggal di Swiss, Prancis dan Italia. Selama periode inilah ia menulis karya-karya terkenal seperti Thus Spoke Zarathustra dan Beyond Good and Evil