Lihat ke Halaman Asli

Mikchel Naibaho

Pembaca. Penjelajah. Penulis

Cerpen | Puji Semu

Diperbarui: 12 Maret 2018   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (wordnik.com)

Tawa itu kini tak tampak lagi. Meski baru berumur berpuluh hari, kini ia telah mati. Tak ada yang peduli. Bahkan yang dulu mengaku sebagai sahabat sejati. Mereka semua pergi seolah tak mau tahu apa yang sedang terjadi. Atau mungkin, mereka tak punya nurani lagi?

"Mereka hanya mengenalku saat bersenang-senang, Vi" keluh Jenni, pemilik almarhum tawa itu sambil terisak, terdengar penuh sesal. Mendengar suara tangisannya, siapapun akan tahu betapa dalam kepedihan yang dialami Jenni. Bahkan air mata yang terus mengalir, tak punya tempat lagi di wajahnya yang cantik.

"Rasanya,.. lebih baik aku mati aja, Vi"

"Jangan, Jen!" cegahku. Itulah kata pertama yang keluar dari mulutku sejak Jenni menghampiri dengan bercucuran air mata beberapa jam yang lalu. Bukan karena irit bicara, tetapi rasanya tak ada kata yang mampu terucap. Betapa tidak, hari ini aku mendengar pengakuan yang mencengangkan. Kabar yang dulu kudengar sebagai penarik perhatian agar surat kabar laris manis, kini kudengar secara langsung, jelas dan nyata.

"Aku ingin melupakan semua ini, Vi... aku ingin membuangnya dari otakku" teriak Jenni seraya memukul-mukul kepalanya. Suaranya makin meninggi. Terdengar seperti ingin meluapkan semua kepedihan yang memenuhi hati.

Aku terdiam.

Lagi, tak ada kata yang mampu terucap. Meski di dalam otakku berputar ribuan kata yang siap untuk diungkap, aku merasa terperangkap. Kemudian lahir kebingungan yang menyekap, yang dengan sendirinya membendung kata-kata itu agar tetap di benak.

Aku bingung sebagai apa kukeluarkan kata-kata itu. Sebagai nasehat? Cacian? Motivasi? Atau bahkan kutukan?

Mulutku juga tersandera oleh kenyataan yang ada. Dimana orang banyak mengutuk apa yang telah dilakukan Jenni. Kebanyakan dari mereka bahkan kerap mengeluarkan kata-kata kejam yang -- sebagai sesama perempuan -- sangat melukai hati.

Kepada mereka, ingin sekali kuteriakkan bahwa Jenni dan perempuan remaja lain adalah korban. Mereka korban dari keadaan. Dan Jenni, serta teman-teman yang lain tak sepenuhnya bersalah atas apa yang sedang menimpa. Secara langsung atau pun tidak, semua orang di sekitar mereka terlibat. Andai mereka peduli, Jenni pasti tak melakukan hal tak terpuji itu. Atau mungkin saja, keadaan lingkungan sekitar-lah yang memaksa Jenni melakukan itu.

Lihat saja, setiap orang akan selalu berlomba memamerkan barang baru. Entah itu yang berguna atau tidak. Kesuksesan hidup seolah diukur dari banyaknya barang mahal dan ber-merek yang dimiliki seseorang.  Bagaimana dengan mereka yang tak punya? Bagaimana dengan mereka, yang hanya untuk mengisi perut harus membanting tulang sejak pagi hingga petang? Mau tidak mau, mereka akhirnya dipandang sebelah mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline