Lihat ke Halaman Asli

Azzahra Putri Nabilla

Mahasiswa Jurnalistik - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fotografi Jurnalistik vs AI

Diperbarui: 10 Januari 2024   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumen pribadi

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam peradaban manusia telah menandakan perkembangan media dan teknologi yang begitu pesat. Kecepatan dalam menggabungkan sejumlah data besar dapat menghasilkan beberapa produk seperti tulisan, audio-visual, maupun foto realistis sesuai dengan perintah yang dibuat. 

Visual gambar hasil kecerdasan buatan ini menghadirkan tantangan baru bagi dunia karya visual jurnalistik. Pada perkembangannya teknologi AI menciptakan visual gambar yang semakin sempurna sehingga memunculkan perdebatan baru: Dapatkah teknologi artificial intelligence dapat menggeser peran fotografi jurnalistik?

Umumnya banyak sekali keunggulan yang dimiliki oleh AI dengan kecepatannya dalam mengolah data. Teknologi kecerdasan buatan telah digunakan dalam jurnalisme untuk membantu tugas-tugas seperti pembuatan konten, mengumpulkan dan menganalisis data, serta berinteraksi kepada audiens yang dapat diotomatisasi dan mempercepat kerja jurnalistik. Bahkan AI telah digunakan oleh Michael Christopher Brown, seorang jurnalis foto dokumenter dalam proyek foto cerita jurnalistik miliknya bertajuk 90 Miles.

Proyek yang ia buat pada tanggal 4 April 2023 ini terhenti karena dianggap melanggar etika bagi sebagian besar jurnalisme warga. 90 Miles menceritakan peristiwa sejarah dan realitas kehidupan orang Kuba untuk menyebrangi 90 mil lautan yang memisahkan Havana dari Florida. 

Hasil gambar yang begitu realistis di proyek ini sangat membantu kita untuk mengetahui peristiwa sejarah yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dengan berbagai penolakan, justru di sisi lain hal ini merupakan bentuk positif penggunaan AI. 

Lalu apakah ini hanya bentuk penolakan masyarakan terhadap teknologi baru, ataukah hanya sebagai wujud kekhawatiran mendalam akan batas antara etika dan kreatifitas?

Bersamaan dengan banyaknya keunggulan dan kemudahan menggunakan AI, teknologi ini tetap tidak bisa menggantikan peran fotografi jurnalistik. Kredibilitas foto jurnnalistik itu adalah kejujuran dan kenyataan yang ada di lapangan. 

Terdapat beberapa faktor yang mejadikan AI bukanlah ancaman bagi profesi fotografi jurnalistik. Di antaranya karena seluruh produk jurnalistik menjunjung tinggi kode etik, kredibilitas, kejujuran, serta fakta yang ada di lapangan. Perdebatan baru mengenai fakta dan penyebaran disinformasi akan terjadi apabila kerja fotografi jurnalistik digantikan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan.

Bayangkan saja jika benar kecerdasan buatan ini menggantikan seluruhnya kerja fotografi jurnalistik. Tentu akan sangat menguntungkan bagi instansi perusahaan, hanya dengan mengetik prompt pada aplikasi AI yang telah ada, budget dapat terselamatkan. Terlihat sangat efektif dan menggiurkan bukan? Tetapi apakah visual yang dihasilkan oleh AI dapat benar dan persis sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan?

Untuk lebih mudah mari kita berandai jikalau hari ini terjadi sebuah kasus lakalantas antara truk bermuatan sayur yang tertabrak oleh kereta api. Tidak ada korban jiwa namun mengakibatkan 80 persen badan truk hancur dengan sayuran yang terserak hingga 100 meter dari tempat kejadian perkara. 

Hal ini dapat kita tulis sebagai prompt, namun apakah kecerdasan buatan dapat menghasilkan visual yang serupa dengan apa yang sedang terjadi? Tentu tidak. Hasilnya dapat sesuai dengan prompt yang ditulis, namun tidak sama dengan apa yang terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline