Lihat ke Halaman Asli

Awaludin Rauf Firmansyah

Educate Yourself - Footbal Fan

Dari Atap Hotel Yamato turun ke lapangan Hijau : Dua Era, Satu Perjuangan

Diperbarui: 19 September 2025   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Insiden Yamato dan Timnas Indonesia Senior (Sumber : CNN)

Jas merah, jangan sekali sekali melupakan sejarah, tepat hari ini, 19 September, 80 tahun yang lalu, salah satu momen ikonik tercipta di pusat kota Surabaya. Di Kota yang kini dijuluki sebagai kota pahlawan ini, arek-arek suroboyo dengan semangat dan kegigihannya menunjukkan upaya kedaulatan Indonesia, memanjat hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), dan merobek warna "biru" bendera kerajaan Belanda, meninggalkan bendera merah putih sebagai identitas negara kita, yang saat itu baru genap berusia 1 bulan lebih sedikit.

Maklum saja, saat itu kemerdekaan kita masih dianggap "prematur" oleh bangsa barat, terutama Belanda yang kembali petantang petenteng tiba membonceng NICA. Sayangnya sikap sembrono tadi memicu amarah arek suroboyo sehingga lahirlah momen yang selalu kita kenang dan abadi dalam pelajaran sejarah sekolah dasar kita tadi. Aksi nyata itu pun sejatinya tak hanya sekedar menurunkan kain berwarna, namun juga merefleksikan pernyataan lantang bahwa kedaulatan bangsa tak bisa lagi ditawar apalagi sampai kembali diwarnai oleh penjajahan. Akumulasi konflik selepas itu mendorong ke ekskalasi yang lebih besar dan memuncak pada pertempuran 10 November, yang tentu kita sudah tahu bagaimana hasilnya.

Uniknya di masa kini simbolisasi bendera tadi hemat saya kembali menyeruak dari sisi yang berbeda. Pembaca yang budiman sudah pasti menyadari hal tersebut. Bukan muncul di elit istana maupun pelosok desa melainkan tidak lain tidak bukan dari Sepakbola Nasional kita. Sedikit luas kalau sepakbola nasional, mengerucut saja, ke timnas indonesia kita yang kali ini sedang berupaya menjejakkan kakinya ke piala dunia.

Komposisi Timnas Sepakbola kita kali ini berbeda, tak hanya talenta lokal yang unjuk gigi, melainkan wajah-wajah eropa juga turut menghiasi , lebih pula mendominasi. Naturalisasi begitu mereka menyebutnya, hal yang sah, legal, dan FIFA pun tak melarangnya. Lanjut, pada dasarnya fenomena naturalisasi   pada tim nasional ini menjadi simbol unik dalam bentuk reverse dari peristiwa hotel yamato tadi. Kehadiran warna "biru" yang memicu amarah tadi, kini menjadi seolah olah kembali dijahitkan kembali ke merah putih. Bila warna biru dulunya identik dengan kekuasaan asing, kini biru itu hadir dalam pemain berdarah campuran atau murni asing yang secara sadar memilih indonesia sebagai rumahnya. Barusan pun para tim nasional baru saja melakoni FIFA Matchday nya di Surabaya. Bahkan, entah mereka lewat hotel yamato apa tidak pun kehadiran mereka sebagai tim nasional indonesia sangat dielukan oleh para supporter fanatic tim nasional.

Selebrasi Timnas Kontra Chinese Taipei awal September lalu (Sumber : Antara Foto/Rizal Hanafi)

Boleh jadi, fenomena ini bisa dipandang dengan dua wajah. Di satu sisi, naturalisasi adalah strategi realistis: memperkuat tim nasional agar sanggup lebih cepat bersaing di kancah internasional. Pemain yang rela meninggalkan tanah kelahiran demi Merah Putih sejatinya telah mengakui kedaulatan bangsa kita sebagai bagian dari dirinya. Dalam perspektif ini, menyambung "warna biru" bukan berarti tunduk, melainkan mengundang kekuatan baru dan melebur ke dalam pelukan merah putih.

Di sisi lain, ada suara kritis yang mempertanyakan: apakah ketergantungan pada naturalisasi membuat kita lupa membina kekuatan sendiri? Apakah menyambung warna biru kembali berarti kita secara halus menyerahkan sebagian identitas, hanya karena ingin cepat berprestasi? Refleksi ini penting, sebab perjuangan di Hotel Yamato dulu mengajarkan bahwa harga diri dan kemandirian adalah inti dari kedaulatan.

Pada akhirnya, perobekan bendera  dan naturalisasi pemain sepak bola memang dua hal berbeda, tapi keduanya sama-sama bicara soal jati diri bangsa. Yang perlu kita pastikan hanyalah satu: apa pun strategi dan cara kita, Merah Putih harus tetap berkibar paling tinggi, entah lewat darah yang tertumpah di masa lalu, atau lewat keringat para pemain yang berlari di lapangan hijau hari ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline