"Kita sedang menyelamatkan dunia---atau hanya memindahkan polusinya ke tempat lain?"
Di kota-kota besar, mobil listrik mulai mendominasi jalanan. Diiklankan sebagai solusi masa depan, kendaraan ini dianggap sebagai jawaban atas krisis iklim dan polusi udara. Tapi apakah itu sepenuhnya benar?
Di balik kilau mobil listrik, terdapat proses produksi yang kompleks---dan tidak semuanya ramah lingkungan. Sama halnya dengan mobil berbahan bakar minyak (BBM) yang selama puluhan tahun menjadi andalan mobilitas global, tapi punya jejak karbon yang sulit dihapus.
Maka pertanyaannya bukan sekadar siapa yang "lebih bersih", tapi siapa yang meninggalkan jejak lingkungan lebih kecil jika dihitung sejak awal: dari tambang hingga ke jalanan?
Mobil Listrik: Ramah di Jalan, Tapi Boros di Tambang?
1. Tambang Baterai: "Hijau" yang Berdarah
Baterai lithium-ion adalah jantung mobil listrik. Tapi untuk membuatnya, kita butuh litium, kobalt, dan nikel---bahan yang tidak tumbuh di pohon, melainkan ditambang dari perut bumi.
Litium banyak ditambang di Amerika Selatan, khususnya di Bolivia, Argentina, dan Chili. Penambangannya menyedot jutaan liter air dari ekosistem kering, mengancam pertanian lokal dan kehidupan masyarakat adat.
Kobalt sebagian besar berasal dari Republik Demokratik Kongo, di mana laporan Amnesty International menyebutkan adanya kerja paksa, buruh anak, dan kecelakaan kerja yang fatal.
Nikel, yang dibutuhkan untuk memperpanjang umur baterai, sering ditambang di Indonesia dan Filipina---dua negara yang ekosistem hutannya kini terancam oleh ekspansi tambang.