Bayangkan pada suatu hari, kamu curhat ke Chat GPT, dan dia merespons dengan kalimat seperti “Aku paham, dan juga turut merasakan sedihmu.” Apakah ini sekedar trik canggih atau pertanda bahwa mesin bisa merasakan emosi seperti layaknya manusia? Di tengah kemajuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), klaim “AI yang punya emosi” semakin sering muncul, tapi sejauh manakah klaim itu benar? Artikel ini akan mencoba membedakan antara simulasi emosi dan emosi sejati, kemudian menilai apakah AI memiliki kapasitas untuk merasakan emosi, dan apa konsekuensinya jika di masa depan, teknologi ini “mendapatkan hati.”
AI saat ini memang semakin mahir dalam mengenali emosi manusia lewat ekspresi, suara, dan juga kata-kata. Penelitian dalam emotion recognition yang diterbitkan di ScienceDirect (2023), model pengenalan emosi berbasis machine learning dapat mengklasifikasikan emosi seperti marah, senang, dan sedih dengan tingkat akurasi tinggi melalui analisis wajah dan suara. Selain itu, riset dari Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menemukan bahwa pengguna lebih dapat merasa “didengarkan” oleh AI dibanding manusia, meskipun efek itu berkurang begitu mereka tersadar dan mengetahui bahwa yang menjawab mereka adalah mesin buatan. Namun, kemampuan seperti ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai simulasi empati, bukan emosi yang sejati. Menurut artikel ilmiah “In principle obstacles for empathic AI” di PubMed Central, AI hanya mampu memahami situasi emosional secara kognitif tanpa benar-benar merasakannya.
Selain soal kemampuan, muncul pula dilema etika. Sebuah ulasan di Harvard Business Review memperingatkan bahwa emotional AI bisa digunakan untuk memanipulasi perasaan pengguna, membentuk preferensi, bahkan menimbulkan ketergantungan emosional terhadap mesin. Selain itu, studi dari PubMed Central (2024) menyoroti bahwa pengenalan emosi oleh AI kerap bias terhadap ekspresi dari kelompok etnis tertentu. Sementara itu, sebuah makalah di arXiv berargumen bahwa agar AI betul-betul “merasakan”, ia harus memiliki sistem kesadaran dan pengalaman internal atau dapat disebut pribadi, layaknya manusia, hal yang saat ini masih sebatas teori dan belum terbukti secara ilmiah.
Jadi, apakah AI bisa memiliki emosi? Jawabannya adalah, belum, dan mungkin tidak akan benar-benar bisa. AI memang dapat meniru emosi dengan realistis dan memahami emosional pada manusia secara logis, tetapi belum mampu merasakan kesedihan, cinta, atau empati sejati. Yang ada hanyalah refleksi dari data yang kita berikan kepadanya. Hingga kini, emosi masih menjadi hal yang sepenuhnya manusiawi, sesuatu yang bahkan algoritma tercanggih pun belum bisa tiru secara utuh. Maka, sebelum kita menyebut mesin “berperasaan”, mungkin sebaiknya kita bertanya: apakah yang ia rasakan benar-benar rasa, atau hanya bayangan dari perasaan kita sendiri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI