Mesopotamia dan Cikal-Bakal Peradaban: Ketika Ilmu dan Mitologi Bertemu
Mesopotamia kerap disebut sebagai tempat lahirnya peradaban manusia. Di kawasan subur antara Sungai Tigris dan Efrat, manusia mulai bertransformasi dari pengembara menjadi penghuni tetap yang menata hidupnya secara terstruktur. Di sinilah muncul kota pertama, sistem tulisan, hukum, serta pengetahuan awal tentang langit dan matematika. Mesopotamia adalah wilayah di mana fondasi kehidupan modern mulai diletakkan, bercampur antara pengetahuan empiris dan sistem kepercayaan yang bersifat mitologis.
Wilayah ini tidak sekedar menjadi tempat bertemunya manusia dengan alam, tetapi juga menjadi tempat awal perkembangan sosial dan budaya. Berbagai temuan arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat Mesopotamia mengembangkan cara hidup yang sangat kompleks, lengkap dengan struktur kekuasaan, aturan hukum, serta sistem pertanian yang efisien. Namun, semua pencapaian ini berdampingan dengan kepercayaan terhadap entitas adikodrati yang sering kali digunakan untuk menjelaskan fenomena yang belum bisa mereka pahami secara ilmiah.
Awal dari Struktur: Pertanian, Kota, dan Tulisan
Sekitar 3500 SM, masyarakat Sumeria mengembangkan sistem irigasi yang memungkinkan mereka mengolah lahan secara konsisten. Ketersediaan pangan yang stabil menyebabkan pertumbuhan populasi dan terbentuknya permukiman permanen. Dari sinilah kota-kota seperti Uruk dan Lagash berkembang.
Perkembangan administrasi kota mendorong lahirnya sistem pencatatan. Tulisan paku (cuneiform) pun muncul, awalnya untuk mencatat distribusi hasil pertanian, tetapi kemudian berkembang menjadi sarana pencatat hukum, perjanjian dagang, dan bahkan mitos. Tulisan menjadi alat pengorganisasian masyarakat yang tidak hanya praktis tetapi juga simbolis. Tulisan memungkinkan pewarisan informasi antargenerasi tanpa harus bergantung sepenuhnya pada ingatan kolektif.
Struktur Sosial dan Legitimasi Kekuasaan
Dalam sistem sosial Mesopotamia, kekuasaan terstruktur secara hierarkis. Masyarakat terbagi ke dalam kelas sosial: budak, petani, pedagang, bangsawan, hingga raja. Namun yang menarik, kekuasaan politik tidak pernah berdiri sendiri. Raja dianggap sebagai wakil para dewa atau bahkan memiliki darah keturunan ilahi. Konstruksi ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap mitos berperan besar dalam legitimasi kekuasaan.
Namun, bila dilihat secara kritis, kepercayaan ini bisa dipahami sebagai strategi kekuasaan. Dengan mengaitkan otoritas politik pada entitas supranatural, para penguasa menciptakan narasi yang sulit dibantah oleh rakyatnya. Legitimasi berbasis mitos memperkuat kekuasaan dalam masyarakat yang belum memiliki perangkat rasional untuk mempertanyakan kebenaran yang bersifat dogmatis.
Mitologi dan Ilmu: Dua Sisi dari Mata Uang yang Sama
Mesopotamia memang dikenal religius, namun mereka tidak berhenti pada pemujaan secara buta. Mereka mencatat pergerakan benda langit, menghitung waktu, menyusun kalender, dan mengembangkan sistem bilangan berbasis 60 yang masih digunakan hingga sekarang dalam pembagian jam dan sudut.
Di sinilah terjadi tarik-menarik antara dua cara memahami dunia: satu melalui narasi mitologis yang simbolik, dan satu lagi melalui observasi dan logika yang mulai berkembang. Keberadaan ziggurat, kuil yang menjulang tinggi, tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga pusat pengamatan astronomi. Ini menunjukkan bahwa kegiatan religius dan ilmiah tidak sepenuhnya terpisah, namun berjalan berdampingan.
Akan tetapi, dari sudut pandang skeptis, hubungan ini pun perlu dikaji dengan hati-hati. Tidak semua praktik yang disebut ilmiah benar-benar bebas dari pengaruh kepercayaan. Misalnya, banyak perhitungan astronomi dilakukan bukan untuk memahami hukum alam, tetapi untuk membaca pertanda dari para dewa. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan masih dibingkai dalam kerangka kosmologis yang teosentris.
Perspektif Historis: Peradaban atau Dominasi Simbolik?
Melihat Mesopotamia dengan kacamata modern membuka ruang untuk kritik terhadap bagaimana mitologi digunakan sebagai alat dominasi. Ketika hukum ditulis dan dikatakan berasal dari dewa, maka resistensi terhadap hukum itu tidak hanya berarti pembangkangan terhadap negara, tetapi juga terhadap langit. Dalam masyarakat seperti ini, institusi keagamaan dan politik nyaris tak terpisahkan, dan keduanya sama-sama berperan dalam pengendalian sosial.