Dulu, aku hanya bisa memandang impianku dari kejauhan. Mimpi yang terasa begitu tinggi, sampai-sampai aku nyaris menyerah sebelum sempat berjuang.
Perjalananku menuju bangku kuliah bukanlah kisah yang mulus dan tanpa aral. Justru sebaliknya. Di tengah keterbatasan ruang gerak sebagai santri di pesantren, aku harus menyusun ulang arah hidup, meluruskan niat, dan mencari celah kecil untuk tetap mengejar harapan.
Awalnya, aku sangat ingin kuliah di Yogyakarta. Kota itu seperti magnet kuat yang menarik hatiku. Terutama sebuah kampus bernama UIN Sunan Kalijaga---kampus yang entah mengapa selalu mengisi angan-anganku. Tapi sayangnya, keinginan itu terbentur restu orang tua. Mereka menginginkanku tetap dekat di rumah. Aku pun mengalah dan mencoba menerima takdir.
Namun suatu malam, ada sebuah peristiwa kecil yang mengubah segalanya. Aku hendak berbaring di tempat tidur pondok. Tak sengaja, mataku tertuju pada sebuah foto yang tergeletak tepat di atas bantal. Betapa kagetnya aku saat melihat bahwa itu adalah foto UIN Sunan Kalijaga, kampus impianku! Di balik foto itu tertulis kalimat indah: "Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad."
Aku bertanya kepada teman-teman satu kamar, siapa pemilik foto itu. Tapi tak satu pun dari mereka mengakuinya. Seolah foto itu memang ditakdirkan untuk aku temukan. Maka sejak malam itu, foto itu kusimpan di samping tempat tidur. Ia menjadi pengingat diam yang menyala-nyala dalam hatiku---bahwa mimpi ini belum mati.
Keinginan untuk kuliah di Yogyakarta pun kembali menguat. Dengan mantap, aku kembali meminta izin kepada orang tua. Kali ini dengan hati yang lebih bulat dan keyakinan yang lebih dalam. Dan ajaibnya, restu itu akhirnya datang.
Aku mendaftar jalur UM-PTKIN di UIN Sunan Kalijaga. Di sela-sela padatnya aktivitas pesantren, aku menyempatkan diri untuk belajar. Jam belajarku tak biasa: sekitar pukul 12 siang dan 11 malam---waktu-waktu lengang yang hanya kugunakan sekitar 30 menit setiap harinya. Meski sebentar, aku menjalaninya dengan konsisten.
Takdir kembali mengujiku. Saat pengumuman UM-PTKIN keluar, namaku tak ada di daftar kelulusan. Hatiku sempat remuk. Tapi aku memilih untuk tidak larut. Aku bangkit lagi dan mencoba jalur mandiri. Sambil menunggu ujian, aku ikut bimbingan belajar dan belajar bersama teman-teman sesama santri yang senasib.
Ujian mandiri pun tiba. Ujian dilakukan secara daring. Saat mengerjakan, beberapa soal tak menampilkan pilihan jawaban. Panik? Tentu. Tapi aku belajar bahwa ikhtiar akan tetap indah jika disempurnakan dengan tawakal.
Ketika hari pengumuman tiba, aku terlalu takut untuk membukanya. Akhirnya seorang teman membantuku mengecek. Dan... alhamdulillah, aku lulus seleksi jalur mandiri. Aku resmi diterima di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tangis haru pecah. Keluargaku pun menyambut kabar ini dengan penuh syukur dan kebahagiaan.