Lihat ke Halaman Asli

Tong Tong Fair: Identitas Indo di Belanda dan Dampaknya Pada Budaya Lintas Negara Periode 2020-2024

Diperbarui: 3 Juni 2025   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Maheswari Audreyka Tantra Wijaya

Latar Belakang

     Tong Tong Fair yang sebelumnya dikenal sebagai Pasar Malam Besar didirikan pada 1959 di Den Haag oleh Tjalie Robinson sebagai respons atas kerinduan akan budaya Hindia Belanda (Thanh-Dam; Gasper, 2011). Awalnya, acara ini berfungsi sebagai ruang reuni komunitas Indo untuk berbagi kuliner, musik, dan cerita nostalgia. Namun, seiring dekade, festival ini berevolusi menjadi fenomena budaya yang lebih luas, menarik tidak hanya generasi Indo-Belanda tetapi juga masyarakat Belanda dan pengunjung internasional. Perubahan nama menjadi Tong Tong Fair pada 2009 menandakan transformasinya dari sekadar "pasar malam" menjadi festival yang merayakan hibriditas budaya dan dialog lintas generasi. (Pattynama, 2012)

        Perayaan tersebut lahir dari sejarah migrasi sekitar 300.000 Indo-Eropa serta kelompok repatriat lain dari bekas Hindia-Belanda ke Belanda antara 1945-1965—sebuah diaspora yang kini diperkirakan berjumlah 800.000 – 2 juta jiwa di Belanda dan menjadi komunitas minoritas terbesar di negara itu. Berhadapan dengan proses integrasi yang relatif berhasil, banyak Indo generasi kedua dan ketiga justru kembali mencari “akar” budaya mereka. Tong Tong Fair menyediakan ruang aman untuk menegaskan identitas hibrid tersebut melalui kuliner, musik krontjong-indorock, mode kebaya, hingga diskusi sejarah kolonial. (Janoski, 2010) 

       Identitas Indo-Belanda bersifat cair dan multidimensi. Di satu sisi, generasi pertama berusaha melestarikan tradisi seperti masakan rijsttafel, bahasa petjoek, atau lagu-lagu kroncong. Di sisi lain, generasi muda Indo-Belanda—yang lahir dan besar di Eropa—sering kali memaknai identitas mereka secara lebih fleksibel, memadukan unsur Belanda modern dengan warisan Asia. Tong Tong Fair menjadi cerminan dalam dinamika ini: di sana, spekkoek (kue lapis) dijual bersamaan dengan workshop seni kontemporer, sementara diskusi tentang sejarah kolonial diadakan di antara pertunjukan musik dangdut. Proses hibriditas ini memunculkan pertanyaan tentang cultural appropriation, apresiasi budaya, dan legitimasi identitas di tengah masyarakat multikultural Belanda. (Captain & Meijer, 2000)    

          Tong Tong Fair tidak hanya memengaruhi komunitas Indo-Belanda, tetapi juga berperan sebagai jembatan budaya antara Indonesia dan Belanda. Misalnya, melalui promosi produk UMKM Indonesia, kolaborasi seniman, atau program pertukaran budaya. Festival ini juga menjadi sarana soft diplomacy yang mengubah narasi hubungan Belanda-Indonesia dari sejarah kolonial yang kelam menjadi dialog mutualistik. Namun, di baliknya, tetap ada ketegangan antara romantisasi masa lalu—seperti nostalgia pada zaman Hindia Belanda dan upaya dekolonisasi dalam wacana akademis kontemporer. (Van Leeuwen, L., 2018)

Rumusan Masalah 

     Dari latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

  • Bagaimana Tong Tong Fair merepresentasikan identitas budaya Indo di Belanda?

  • Pertanyaan Penelitian:

  1. Bagaimana festival ini memainkan peran dalam membentuk dan memelihara kesadaran identitas hibrid antar­generasi komunitas Indo?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline