Pemangkasan anggaran negara oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sesuai dengan S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja K/L dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025 sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 juga adanya kenaikan pajak hingga 12% berdasarkan PMK 131 Tahun 2024, membawa dampak yang tidak ringan bagi masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi negara, tetapi di sisi lain, masyarakat harus menghadapi tekanan ekonomi yang makin besar. Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan: bagaimana seharusnya kita bersikap? Salah satu nilai Islam yang dapat menjadi pedoman dalam menghadapi situasi ini adalah konsep zuhud dalam muamalah---sikap melepaskan keterikatan terhadap harta dengan tetap menggunakannya untuk kebaikan sosial.
KH Moch Djamaluddin Ahmad (pengasuh Ribath Bumi Damai Al-Muhibbin Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang) menjelaskan zuhud dalam muamalah dalam kajian kitab Al-Hikam sebagaimana dalam uraian 2 paragraf berikut ini.
Zuhud bukan berarti menolak dunia atau hidup dalam kemiskinan, melainkan mengelola harta dengan penuh kesadaran dan empati terhadap sesama. Misalnya, dalam transaksi jual beli, seseorang yang memiliki sikap zuhud tidak hanya memikirkan keuntungan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. Jika membeli barang seharga Rp25.000, ia bisa memilih untuk membayar lebih sebagai bentuk penghargaan terhadap pedagang kecil. Begitu juga dalam penggunaan jasa, seperti transportasi atau tenaga kerja, orang yang memiliki sifat zuhud tidak akan menawar terlalu rendah, melainkan berusaha memberikan lebih agar orang lain juga mendapatkan manfaat yang layak.
Sikap ini juga tercermin dalam praktik hutang piutang. Islam mengajarkan bahwa memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan memiliki nilai pahala lebih besar dibandingkan sekadar bersedekah. Sebab, orang yang berhutang berada dalam kondisi mendesak dan membutuhkan uluran tangan. Dalam konteks ini, zuhud mendorong seseorang untuk lebih mudah memberikan pinjaman serta segera melunasi hutangnya tanpa menunggu jatuh tempo.
Di tengah tekanan ekonomi akibat kebijakan fiskal yang ketat, ada baiknya kita melakukan refleksi terhadap nilai-nilai ini. Beberapa pertanyaan yang bisa kita renungkan adalah:
1. Seberapa sering kita menolak memberikan pinjaman kepada orang yang benar-benar membutuhkan?
2. Apakah kita sudah berupaya melunasi hutang dengan segera agar tidak membebani orang lain?
3. Apakah kita hanya membantu ketika berlebih, ataukah kita bisa tetap memberi meskipun dalam keterbatasan?
Membantu sesama tidak harus selalu dengan memberi, tetapi bisa juga dengan memfasilitasi orang lain agar lebih mandiri secara ekonomi. Salah satunya adalah dengan memberikan pinjaman tanpa riba atau melakukan transaksi yang adil. Konsep ini selaras dengan ajaran Islam yang menempatkan hutang sebagai bentuk pertolongan yang lebih besar dibandingkan sekadar bersedekah, karena orang yang berhutang benar-benar berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan uluran tangan.
Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, menerapkan nilai zuhud dalam muamalah bukan hanya menjadi jalan spiritual, tetapi juga solusi sosial. Dengan menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kita tidak hanya bertahan dalam tekanan ekonomi, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih peduli, inklusif, dan berkeadilan.