Lihat ke Halaman Asli

Asep Sukarna

Freelancer

Profesi yang Tak Diakui: Realitas Pekerja Spiritualitas di Tengah Lanskap Sosial Modern

Diperbarui: 12 Agustus 2025   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by Oetoenk 

"Dan jiwamu, jika tidak kau sibukkan dalam kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dalam kebathilan."  

--- Imam Syafi'i

Di sudut-sudut kampung, di ruang-ruang do'a yang tak tercatat dalam statistik, hidup sekelompok orang yang memilih jalan sunyi. Mereka bukan pemuka agama yang tampil di layar kaca, bukan motivator spiritual yang menjual harapan instan. 

Mereka adalah penjaga makna, pengemban doa, dan pelayan batin masyarakat. Namun, kehadiran mereka jarang dianggap sebagai profesi. Tidak tercatat dalam sistem ketenagakerjaan, tidak mendapat perlindungan sosial, dan sering kali hanya dibalas dengan amplop yang tak menentu.

Pekerja spiritualitas hidup dari undangan yang datang tanpa jadwal tetap. Mereka tidak memiliki gaji bulanan, tidak terdaftar dalam jaminan sosial, dan tidak punya kepastian hari tua. Ketika masyarakat membutuhkan mereka, mereka hadir. Tapi ketika kebutuhan selesai, mereka kembali ke sunyi. Ketidakpastian bukan sekadar risiko, tapi sudah menjadi pola hidup yang diimani. 

Dalam kajian oleh Syamsuddin dan Azlinda Azman, spiritualitas dipahami sebagai strategi pemulihan dan pemberdayaan batin, bukan sekadar ekspresi keagamaan. Mereka menyebut bahwa "spiritualitas dapat memberdayakan klien secara emosional melalui penemuan kebermaknaan dan kepastian tujuan hidup."

Di lanskap sosial modern, eksistensi menjadi modal. Mereka yang aktif di media sosial, yang rajin membagikan refleksi dan kutipan spiritual, lebih mudah dikenali dan diundang. Maka sebagian dari mereka mulai belajar tampil, bukan untuk mencari popularitas, tapi untuk menjaga keberlanjutan. Di antara dogma keikhlasan dan algoritma keterlihatan, mereka bernegosiasi dengan zaman. Harlina Nurtjahjanti menyebut bahwa "spiritualitas kerja mendorong pengalaman transenden melalui pelayanan terhadap orang lain." Namun dalam praktiknya, masyarakat sering kali memandang mereka sebagai pelengkap seremoni, bukan sebagai profesi yang sah.

Sebagian pekerja spiritualitas bernaung di bawah entitas yang mapan: pondok pesantren, yayasan keagamaan, lembaga dakwah. Mereka memiliki struktur yang menopang, kadang bahkan mendapat tunjangan, tempat tinggal, dan komunitas yang menjaga keberlanjutan. Kehadiran mereka diatur, dijadwalkan, dan difasilitasi. Maka urusan dapur, pendidikan anak, dan kebutuhan dasar tidak selalu menjadi beban pribadi. Namun di luar struktur itu, ada mereka yang berjalan sendiri. Tidak terikat lembaga, tidak memiliki jaringan tetap, dan tidak mendapat jaminan sosial. Mereka hadir karena panggilan, bukan karena penugasan. Mereka menulis refleksi, memimpin doa, mendampingi batin masyarakat---semua dilakukan dengan keikhlasan, tapi juga dengan ketidakpastian. Mereka tidak punya kantor, hanya ruang sunyi yang dijaga dengan sabar.

Di antara mereka, kadang hadir persaingan yang tak terucap. Bukan perebutan kekuasaan, tapi perebutan ruang kehadiran. Siapa yang lebih sering tampil di forum? Siapa yang lebih aktif di media sosial? Siapa yang lebih mudah dikenali oleh masyarakat? Dalam lanskap spiritualitas yang semakin terhubung dengan algoritma dan citra, keterlihatan menjadi penentu. Maka sebagian belajar tampil, bukan untuk pamer, tapi untuk tetap bertahan. Persaingan ini tidak selalu sehat, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Ia lahir dari kebutuhan untuk hidup, untuk tetap relevan, untuk menjaga keberlanjutan.

Bagi mereka yang berjalan sendiri, spiritualitas tidak cukup untuk menghidupi. Maka muncullah usaha-usaha kecil yang alakadarnya---jualan pulsa, membuka warung kopi sederhana, menjual buku bekas, atau menerima jasa menulis dan mendampingi secara informal. Bukan usaha besar, bukan bisnis yang menjanjikan, tapi cukup untuk bertahan. Mereka tidak menyebut diri sebagai pengusaha, hanya sebagai penjaga makna yang juga harus makan. Usaha itu bukan pelarian dari panggilan, tapi cara untuk tetap hadir. Mereka tidak ingin meninggalkan jalan sunyi, tapi juga tidak ingin membebani orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline