Lihat ke Halaman Asli

Abahna Gibran

Penulis dan Pembaca

Lelaki yang Selalu Mengeluh

Diperbarui: 8 September 2018   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: wartakota.tribunnews.com)

Tetangga di sekitarnya, bahkan orang satu kampung sekalipun, mengenal Mang Jaka dengan mimik muka yang memelas, dan keluhannya yang tak pernah habis-habisnya ia ungkapkan pada setiap orang yang yang ditemuinya. Setiap hari selalu saja ada masalah baru yang dikeluhkannya itu.

Seperti yang diungkapkan kepada Kang Dudung kemarin sore. Saat itu Mang Jaka baru pulang dari sawah. Di persimpangan gang berpapasan dengan Mang Dudung yang baru usai menunaikan shalat Ashar dari mushola.

Ketika itu sebenarnya Mang Dudung sedang terburu-buru untuk kembali ke rumahnya. Tetapi sebagaimana orang bertetangga, maksud Mang Dudung hanya hendak bertegur sapa saja kepada Mang Jaka. Akan tetapi masalah yang diungkapkan Mang Jaka membuat Mang Dudung terpaksa harus mendengarkannya. Paling tidak agar membuat Mang Jaka tidak kecewa.

"Mang Dudung, tahu tidak? Musim ini  bisa jadi sawah saya akan mengalami gagal tanam. Sudah tiga hari ini sawah saya tidak pernah kebagian air. Air di saluran irigasinya pun hanya sampai di sawah yang ada di hulu saja. Ulu-ulu (Aparat Desa yang bertugas mengatur pembagian air di sawah)kabarnya, saban hari kerjanya hanya mengurus ayam-ayam adunya saja. Bagaimana nasib anak-anak dan istri saya kalau begini? Duh, nasib!"

"Salah sendiri, sudah tahu sekarang musim kemarau, kenapa masih memaksa diri untuk menanam padi. Coba kalau sebelumnya Kang Jaka mengikuti himbauan pak Kades agar sawah yang berada di hilir jangan ditanami padi. Tetapi diganti dengan palawija saja. Mungkin usaha Mang Jaka tidak akan sia-sia," sahut Mang Dudung sekenanya.

"Lha, Mang Dudung malah menyalahkan saya?! Seharusnya Mang Dudung membantu saya untuk melaporkan Ulu-ulu kepada pak Kades. Lagi pula bukankah makanan pokok kita sehari-hari adalah nasi. Mana mungkin bisa diganti dengan ketela, ubi jalar, maupun jagung?"

Mang Dudung pun seketika merasa bingung. Berdebat dengan Mang Jaka tak akan ada habisnya memang. Apalagi yang dipermasalahkan urusan Kang Jaka sendiri. Sama sekali bukan urusan diri Mang Dudung. Lagi pula masalah Ulu-ulu yang dikatakan Kang Jaka belum jelas kebenarannya. Bukankah Kang Jaka saja tadi menyebut baru kabarnya saja.

Untung saja ketika itu anaknya yang bungsu datang menyusulnya. Di rumah ada tamu yang menunggu, kata anaknya itu. Sehingga Mang Dudung merasa terlepas dari kebingungannya. Ia pun langsung pamitan kepada Kang Jaka yang masih bersungut-sungut. Begitu juga ketika bayangan tubuh Mang Dudung sudah tak nampak lagi, Kang Jaka malah merasa Mang dudung sudah menyepelekannya.

Lain halnya dengan yang pernah di dengar Bi Unah tempo hari. Waktu itu kebetulan Bi Unah sedang ada di rumah. Karena tak ada orang yang menyuruhnya untuk membantu menanam padi. Sementara itu Kang Jaka akan berangkat ke kebun untuk mencari rumput pakan kambingnya. Karena memang jalan setapak menuju kebun harus melewati rumah Bi Unah yang terletak di ujung kampung, maka hari itu pun Mang Jaka dapat bersua dengaan janda tua itu.

Setelah bertegur-sapa sebagaimana biasanya, Kang Jaka tidak melanjutkan langkahnya. Ia malah jongkok di samping Bi Unah yang sedang meembersihkan beras yang akan ditanaknya.

"Bi Unah, baru mau masak?' tegurnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline