Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Selalu Mengeluh

8 September 2018   21:32 Diperbarui: 8 September 2018   21:58 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: wartakota.tribunnews.com)

Tetangga di sekitarnya, bahkan orang satu kampung sekalipun, mengenal Mang Jaka dengan mimik muka yang memelas, dan keluhannya yang tak pernah habis-habisnya ia ungkapkan pada setiap orang yang yang ditemuinya. Setiap hari selalu saja ada masalah baru yang dikeluhkannya itu.

Seperti yang diungkapkan kepada Kang Dudung kemarin sore. Saat itu Mang Jaka baru pulang dari sawah. Di persimpangan gang berpapasan dengan Mang Dudung yang baru usai menunaikan shalat Ashar dari mushola.

Ketika itu sebenarnya Mang Dudung sedang terburu-buru untuk kembali ke rumahnya. Tetapi sebagaimana orang bertetangga, maksud Mang Dudung hanya hendak bertegur sapa saja kepada Mang Jaka. Akan tetapi masalah yang diungkapkan Mang Jaka membuat Mang Dudung terpaksa harus mendengarkannya. Paling tidak agar membuat Mang Jaka tidak kecewa.

"Mang Dudung, tahu tidak? Musim ini  bisa jadi sawah saya akan mengalami gagal tanam. Sudah tiga hari ini sawah saya tidak pernah kebagian air. Air di saluran irigasinya pun hanya sampai di sawah yang ada di hulu saja. Ulu-ulu (Aparat Desa yang bertugas mengatur pembagian air di sawah)kabarnya, saban hari kerjanya hanya mengurus ayam-ayam adunya saja. Bagaimana nasib anak-anak dan istri saya kalau begini? Duh, nasib!"

"Salah sendiri, sudah tahu sekarang musim kemarau, kenapa masih memaksa diri untuk menanam padi. Coba kalau sebelumnya Kang Jaka mengikuti himbauan pak Kades agar sawah yang berada di hilir jangan ditanami padi. Tetapi diganti dengan palawija saja. Mungkin usaha Mang Jaka tidak akan sia-sia," sahut Mang Dudung sekenanya.

"Lha, Mang Dudung malah menyalahkan saya?! Seharusnya Mang Dudung membantu saya untuk melaporkan Ulu-ulu kepada pak Kades. Lagi pula bukankah makanan pokok kita sehari-hari adalah nasi. Mana mungkin bisa diganti dengan ketela, ubi jalar, maupun jagung?"

Mang Dudung pun seketika merasa bingung. Berdebat dengan Mang Jaka tak akan ada habisnya memang. Apalagi yang dipermasalahkan urusan Kang Jaka sendiri. Sama sekali bukan urusan diri Mang Dudung. Lagi pula masalah Ulu-ulu yang dikatakan Kang Jaka belum jelas kebenarannya. Bukankah Kang Jaka saja tadi menyebut baru kabarnya saja.

Untung saja ketika itu anaknya yang bungsu datang menyusulnya. Di rumah ada tamu yang menunggu, kata anaknya itu. Sehingga Mang Dudung merasa terlepas dari kebingungannya. Ia pun langsung pamitan kepada Kang Jaka yang masih bersungut-sungut. Begitu juga ketika bayangan tubuh Mang Dudung sudah tak nampak lagi, Kang Jaka malah merasa Mang dudung sudah menyepelekannya.

Lain halnya dengan yang pernah di dengar Bi Unah tempo hari. Waktu itu kebetulan Bi Unah sedang ada di rumah. Karena tak ada orang yang menyuruhnya untuk membantu menanam padi. Sementara itu Kang Jaka akan berangkat ke kebun untuk mencari rumput pakan kambingnya. Karena memang jalan setapak menuju kebun harus melewati rumah Bi Unah yang terletak di ujung kampung, maka hari itu pun Mang Jaka dapat bersua dengaan janda tua itu.

Setelah bertegur-sapa sebagaimana biasanya, Kang Jaka tidak melanjutkan langkahnya. Ia malah jongkok di samping Bi Unah yang sedang meembersihkan beras yang akan ditanaknya.

"Bi Unah, baru mau masak?' tegurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun