Lihat ke Halaman Asli

Bohemian Rhapsody

Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pinterest.com/bobdewald

Aku mengira kalau hidup ini adalah sebuah fantasi. Tapi ternyata aku memang berada dalam sebuah kenyataan yang buatku tak bisa melarikan diri. Meski aku harus menatap menatap ke atas langit, takkan mengubah kenyataan kalau aku hanyalah seorang lelaki miskin. Tapi jangan salah sangka. Aku tidak mengharapkan simpati dari kalian yang punya harta melimpah dan popularitas. Orang bijak berkata kalau hidup ini punya pasang surut. Tapi aku merasa pepatah mereka benar-benar tidak berarti. Betul-betul tidak ada artinya. Persis dengan apa yang terjadi padaku. Semuanya bagaikan embusan angin. Cuma menumpang lewat saja lalu terlupakan.

***

 Ed, itulah panggilanku. Aku tinggal bersama dengan ibuku. Kami tinggal di sebuah desa yang masyarakatnya terbilang berkecukupan. Mayortitas penduduk di sana punya ladang dan sawah luas. 

Setiap memanen mereka bisa berpenghasilan dua puluh juta ke atas. Mereka punya mobil dan sepeda motor. Rumah mereka terbilang cukup besar. Setiap aku melintas di rumah mereka, aku refleks tersenyum. Berandai-andai jika kehidupanku seperti mereka. Tapi di saat itu pula aku merasa kesedihan menyeruak dalam hati.

***

Ayahku dulunya merupakan seorang kepala dinas pendapatandaerah. Jangan tanya soal kekayaan kami. Kami merupakan orang terpandang di kota A. Kami punya perusahaan garmen dan pabrik susu. Rumah kami rumah beton berarsiktur Spanyol dengan air pancur dan replika patung Aristoteles di halaman rumah. Rumah kami sering sekali dijadikan tempat berpestanya kaum borjuis dan birokrat. 

Maklum saja, ayah juga merupakan ketua dewan pengurus daerah salah satu partai pro pemerintahan. Ayahku sering sekali melakukan pertemuan-pertemuan penting atau sekedar berbincang-bincang di rumah kami. Ayahku sering sekali memperkenalkan diriku pada teman-temannya.

"Perkenalkan ini putra saya---Edgardo. Kalian tahu, di sekolah dia selalu mendapat pujian dari guru-guru bidang studi. Dia anak yang pintar. Aktif dalam menjawab pertanyaan seputar pelajaran," ucap ayah, bangga.

"Kau beruntung punya anak seperti dia, Fran. Barangkali dia bisa menggantikan posisimu sebagai kepala dinas atau jadi ketua dewan pengurus partai kita," puji salah satu teman separtai Fran.

"Untuk itulah aku selalu menekan padanya untuk belajar giat dan jikalau dia sudah menyelesaikan sekolahnya, dia akan kukuliahkan di luar negeri di fakultas hukum." Ayah menepuk pundakku sambil menatap penuh keyakinan padaku.

Mendengar apa yang dikatakan ayahku tentu senangnya bukan main. Aku selalu berdoa pada Tuhan semoga ayahku sehat walafiat. Agar cita-cita itu dapat terwujud di masa depan. Agar aku bisa meneruskan posisi ayahku sebagai kepala dinas dan ketua dewan pengurus partai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline