Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian Rhapsody

11 Februari 2019   20:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/bobdewald

Tapi siapa bisa menebak bagaimana alur hidup ini ke depannya? Semua terjadi begitu cepat. Secepat mengedipkan kelopak mata. Suatu hari, aku, adikku dan ibuku  melihat dua orang berpakaian polisi mendatangi rumah kami.

"Selamat malam, Nyonya Fran, kami dari komisioner pemberantasan korupsi dan kepolisian diperintahkan untuk membawa suami Anda ke kantor polisi. Suami Ibu terlibat dalam kasus korupsi pajak bumi bangunan sebesar 5 miliar rupiah." Pegawai komisioner pemberantasan korupsi dan dua polisi memasuki rumah kami, mencari keberadaan ayahku di sana. 

Mereka bertiga telah menemukan ruangan pribadi ayahku. Tetapi ketika diketuk beberapa kali, mereka tidak mendengar suara apapun dari dalam. Dalam hati aku begitu khawatir terjadi sesuatu dengan ayah. Ibu cepat-cepat menyuruhku membawa kunci cadangan dari kamarnya, membuka ruangan pribadi ayah.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Kakiku bergetar. Kedua bola mataku melebar dengan sendiri. Menyaksikan pemandangan mengerikan ini cukup menurunkan tensi keberanianku. Kami menyaksikan ayah dalam posisi duduk bersandar meregang nyawa dengan mulut berbuih. 

Di tangan sebelah kiri memegang sebuah botol kecil yang menjadi jalannya untuk mengakhiri hidup di dunia ini. Sementara ibu dan adikku masih meratap pilu, aku berjalan perlahan-lahan bersama dengan ketiganya menuju meja kerja ayah. Aku melirik secari kertas yang bertuliskan'untuk Edgardo' di meja kerja ayahku. Aku meraih kertas itu lalu membaca tulisan yang tercetak di atas surat wasiat.

Nak, tolong jaga baik-baik ibu dan adikmu ya. Ayah mau pergi.

tertanda,

Ayahmu---Fran.

Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang dituliskan ayahku. Benarkah ini ditulis oleh ayahku? Kalau memang benar ini tulisan ayahku, apa, apa yang mendasarinya melakukan tindakan sebodoh ini. 

Ayah yang selalu terlihat tegar dan selalu berkata kuat menjalani hidup, tak lebih dari manusia lemah dan munafik yang mengingkari kata-kata dari mulutnya sendiri. Lututku kembali melemah. Aku tak kuat menahan kenyataan sekaligus beban tubuhku. Tangisku pecah di ruang pribadi ayahku.Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kehilangan ayah untuk selama-lamanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun