Lihat ke Halaman Asli

Dicky Armando

Orang Biasa

Filsafat Gaji

Diperbarui: 9 Oktober 2019   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi mengejar gaji. (Sumber Foto: Pixabay.com)

Dalam kesehariannya, Edward adalah orang yang sangat baik hati. Dia bekerja sebagai petugas keamanan, dan digaji oleh negara X.

Alih-alih memukul manusia, menginjak semut pun ia tak tega. Sampai pada suatu hari, Edward harus berhadapan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka menuntut keadilan bagi seluruh rakyat.

Pada saat itu, Edward berubah sepenuhnya. Ia lebih iblis daripada iblis itu sendiri. Para calon penerus bangsa yang terjatuh di jalan, habis ditendang dan dipukulnya tanpa belas kasihan.

Edward berkilah bahwa ia hanya menjalankan perintah. Pembelaan seperti ini barangkali sudah sering kita dengar. Basi, mungkin itu kata yang tepat menggambarkannya.

Manusia punya hati nurani, tetapi pada akhirnya kita harus memilih antara hati nurani dan rasa takut tak mendapatkan gaji lagi.

Saya sangat tertarik soal upah dan gaji ini. Karena jujur, saya pun pernah dalam kondisi harus memilih gaji, ketimbang ajaran agama.

Dalam ajaran yang saya yakini, bahwa riba itu haram, sementara itu saya masih bekerja di sebuah lembaga keuangan yang menghalalkannya. Alasan saya tak jauh beda dengan Edward: hanya menjalankan tugas belaka.

Hari demi hari saya jalani dengan pembelaan itu. Suatu saat, ada suara yang muncul dari dalam hati. Bunyinya seperti ini: "Kalau kau berani mengkhianati Tuhan, maka mudah saja bagimu mengkhianati siapa saja."

Saya tertegun, memikirkan ulang segala yang pernah dilakukan selama ini beserta pembelaannya. Pada satu sisi, jika saya keluar dari pekerjaan, maka saya akan kehilangan gaji. Kalau tidak keluar, rasa-rasanya benar bahwa saya ini pengkhianat Tuhan.

Kalau dihitung-hitung, entah sudah berapa keluarga yang saya jerumuskan dalam kubangan utang uang. Jangan-jangan kalau dikonversi dalam bentuk karung, tumpukan dosa saya sudah setinggi gunung Himalaya.

Lagi-lagi saya sampai di sini, di persimpangan jalan hidup yang suka tak suka, mau tak mau, harus dipilih: antara melarat dan tetap kenyang. Dua hal itu menjadi mimpi buruk saya selama berminggu-minggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline