Lihat ke Halaman Asli

Arif Rahman Hakim

Biasa-biasa saja

Menyoal PSBB Jilid II

Diperbarui: 14 September 2020   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akibat di rumah saja dan banyak menyimak berita di linimasa, pikiranku jadi terseret dalam arus silang pendapat kebijakan PSBB jilid dua di Ibu kota.

Kebijakan PSBB jilid II di DKI Jakarta yang diberlakukan mulai senin 14 September 2020 harapannya tidak menginspirasi daerah lain untuk mengambil kebijakan yang serupa. Misalnya wilayah Jabar yang teritorialnya berdekatan dengan Ibu kota.

Asumsinya dengan diterapkan PSBB jilid II akan membuat pusat perekonomian juga babak belur jilid II yang selanjutnya juga berpengaruh pada daerah lain.

Publik memafhumi bahwa kesehatan memang lebih utama untuk dikedepankan. Namun dampak buruk PSBB juga tak kalah hebatnya bagi keberlangsungan perekonomian mereka, utamanya masyarakat menengah ke bawah yang hidup di tengah Ibu kota.

Pemberlakukan PSBB jilid II harapannya tidak sekedar himbaun semata. Diharapkan muncul terobosan baru yang strategis efektif dan efesian. Mengingat kepada mereka terutama kaum urban yang perekonomianya terdampak sampai ke jantung rumah tangga perlu mendapat prioritas jaring pengaman sosial.

Sebab dengan begitu, akan mencegah mereka berbondong pulang ke kampung halaman lantaran alasan desakan biaya hidup yang tidak mencukupi.

Tentu pembaca masih segar mengingat betapa banyaknya kaum urban yang pulang ke kampung halaman namun tak sedikit membawa dan menularkan virus ke orang-orang dicintai. Kekhawatiran semacam ini tentu tak dikehendaki terjadi lagi.

Melonjaknya angka persebaran kasus positif yang terkonfirmasi secara resmi, setuju atau tidak, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani pandemi ini.

Pemangku kebijakan publik terkesan setengah-setengah bahkan terendus cukup kentara kuatnya ego sektoral. Lihat saja unjuk saran Gubernur Jabar Ridwal Kamil, juga protes menteri dan pejabat lainnya terhadap kebijakan Anis Baswedan baru-baru ini sudah cukup bukti untuk mengkonfirmasi. Yaitu miskin komunikasi dan konsolidasi.

Kiranya, dibalik irisan akibat percaturan politik yang cukup tersirat tersebut alangkah baiknya ego yang menyektoral segera dikesampingkan. Utamakan kolaborasi dan koordinasi secara berkesinambungan, baik dari dan antara pemerintah pusat dan daerah, juga pemerintah daerah satu dengan yang lainnya.

***
Pandemi ini tidak ada yang tahu secara pasti kapan akan berakhir. Alih-alih memastikan, prediksi yang dikemukan oleh pakar meleset semua. Vaksin yang diharapkan oleh khalayak juga masih di awang-awang. Hingga kini dan seterusnya rasanya kita tetap tidak bisa bebas leluasa beraktivitas sosial seperti tahun sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline