Lihat ke Halaman Asli

Arief Fadillah

Mahasiswa Baru Universitas Mulawarman

Penerapan Restorative Justice dalam Kasus Pencurian Ringan: Transformasi Hukum Pidana Kontemporer di Indonesia

Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Blog Justika

Hukum pidana di Indonesia terus mengalami perkembangan, terutama dalam upaya menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Dalam pendekatan lama yang bersifat retributive, pelaku kejahatan harus menerima hukuman sebagai bentuk balasan atas perbuatannya. Pendekatan ini menitikberatkan pada efek jera melalui pemenjaraan atau pemberian sanksi berat lainnya. Namun, di tengah meningkatnya kompleksitas kejahatan dan meningkatnya kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan serta pentingnya hak asasi manusia, muncul kritik terhadap sistem yang hanya menekankan pembalasan tanpa mempertimbangkan pemulihan sosial maupun psikologis. 

Kini, hukum pidana mulai mengarah menuju pendekatan restorative justice, yaitu pendekatan yang lebih mengutamakan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. restorative justice memandang keadilan bukan hanya sebagai bentuk pembalasan, tetapi  sebagai alternatif penyelesaian yang lebih manusiawi dengan mengedepankan nilai-nilai empati, dialog dan tanggung jawab sosial. Salah satu contoh nyata penerapannya dapat dilihat dari kasus pencurian helm di Kulon Progo (2022), yang menggambarkan perubahan arah hukum pidana kontemporer di Indonesia. 

Secara Historis retributive justice berlandaskan pada asas "lex telionis" (mata ganti mata, gigi ganti gigi) yang menekankan pembalasan sepadan terhadap pelaku kejahatan. Sistem ini tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur berbagai jenis sanksi, seperti penjara, denda, dan hukuman mati. Meskipun bertujuan menimbulkan efek jera, pendekatan ini sering menimbulkan berbagai persoalan baru, baik secara sosial maupun kemanusiaan. 

Salah satu permasalahan yang paling menonjol dari sistem retributive adalah overkapasitas lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM (2023) menunjukkan bahwa jumlah narapidana di Indonesia mencapai lebih dari 270 ribu orang, sedangkan kapasitas lapas hanya sekitar 135 ribu. Selain itu, sistem retributive masih mengabaikan hak-hak korban, korban sering kali tidak memperoleh pemulihan yang layak karena sistem hukum lebih fokus menghukum pelaku, sementara korban tidak mendapatkan pemulihan psikologis maupun materiil yang memadai. Bahkan, pelaku tindak pidana ringan yang masuk penjara justru sering mengalami kerusakan moral dan sosial lebih besar setelah keluar dari penjara akibat lingkungan sosial yang buruk. 

Sebaliknya restorative justice hadir sebagai jawaban atas kelemahan sistem lama tersebut. Pendekatan ini melihat bahwa kejahatan bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kerusakan hubungan antarindividu dan masyarakat. Pendekatan ini menekankan pentingnya dialog, tanggung jawab, dan upaya pemulihan kerugian baik secara moral maupun material. Tujuan akhirnya bukan hanya menghukum, melainkan mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana. 

Di Indonesia, pendekatan ini telah memiliki dasar hukum yang kuat. Beberapa regulasi penting yang menjadi landasannya antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang memperkenalkan mekanisme diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara anak di luar pengadilan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memungkinkan rehabilitasi bagi pecandu daripada pemenjaraan, dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 secara tegas memberikan dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk menyelesaikan perkara pidana tertentu melalui mekanisme restorative justice. 

Salah satu kasus yang menunjukkan efektivitas pendekatan ini adalah kasus pencurian helm di Kulon Progo tahun 2022 menjadi contoh nyata penerapan restorative justice. Seorang remaja berusia 19 tahun kedapatan mencuri helm di area parkir sebuah minimarket. Berdasarkan Pasal 362 KUHP, tindakannya tergolong pencurian ringan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Namun, pihak kepolisian tidak membawa perkara ini ke pengadilan. 

Sebaliknya, alih-alih memproses perkara ini hingga ke pengadilan, pihak kepolisian Polres Kulon Progo memilih pendekatan restorative justice. Proses dimulai dengan mempertemukan pelaku, korban, serta perangkat desa sebagai mediator. Dalam pertemuan tersebut, pelaku mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan mengembalikan barang yang dicuri. Korban menerima permintaan maaf dan memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum.   

Dengan demikian, melalui pendekatan ini, tercapai kesepakatan damai. Kasus dinyatakan selesai tanpa melalui jalur pengadilan. Proses ini tidak hanya memulihkan kerugian korban, tetapi juga memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri tanpa stigma sebagai "mantan narapidana".

Penerapan restorative justice dalam kasus tersebut sejalan dengan ketentuan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restorative. Peraturan ini memperbolehkan penghentian penyidikan apabila terpenuhi tiga syarat utama yaitu, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana bersifat ringan (ancaman di bawah lima tahun), ada kesepakatan damai antara pelaku dan korban. Dalam hal ini, kepolisian bertindak sebagai mediator, bukan hanya sebagai penegak hukum formal. Pendekatan ini mencerminkan pergeseran dari hukum pidana retributive ke hukum pidana kontemporer yang lebih empati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline