Nama : Ardhila Riqqah Fadhilah Qoidah
Nim : 232121259
Kelas : HKI 5B
Buku Hukum Acara Peradilan Agama karya Saharuddin A. Tappu, Kairuddin Karim, dan Muh. Akbar Fhad Syahril merupakan karya ilmiah yang diterbitkan oleh CV. Eureka Media Aksara pada tahun 2023 dengan ISBN 978-623-487-588-1. Buku ini disusun sebagai bahan ajar dan referensi bagi mahasiswa hukum, dosen, maupun praktisi hukum yang ingin memahami secara mendalam mekanisme peradilan agama di Indonesia. Penulis berupaya menghadirkan penjelasan yang sistematis mengenai proses hukum acara peradilan agama, mulai dari tahap pengajuan perkara hingga pelaksanaan putusan hakim.
Secara garis besar, buku ini terdiri atas delapan bab yang saling berkaitan. Berikut point penting dalam per bab :
Bab pertama membahas Kedudukan Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi masyarakat Islam dalam menyelesaikan perkara-perkara tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Lembaga ini terdiri atas Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding. Keduanya berada di bawah Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia. MA memiliki fungsi pengawasan tertinggi terhadap seluruh lingkungan peradilan di bawahnya. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat kekhususan berupa Mahkamah Syariah yang melaksanakan peradilan berdasarkan hukum Islam secara lebih luas sesuai kekhususan daerah tersebut.
Bab kedua mengulas asas-asas hukum acara peradilan agama, Peradilan Agama merupakan peradilan khusus bagi umat Islam yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata Islam seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, wakaf, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. Dalam pelaksanaannya berlaku sejumlah asas penting, antara lain asas persamaan di depan hukum, asas mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), asas terbuka untuk umum, asas hakim bersifat aktif, serta asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Selain itu, sistem peradilan diatur dengan asas peradilan dua tingkat dan asas kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak lain. Asas-asas ini menjadi dasar penyelenggaraan peradilan agama agar tercapai keadilan yang objektif dan efisien.
Bab ketiga menjelaskan dalam hukum acara peradilan agama, dikenal dua bentuk perkara, yaitu gugatan dan permohonan. Gugatan adalah tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat yang menimbulkan sengketa hukum dan menghasilkan produk hukum berupa putusan. Sementara itu, permohonan merupakan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, diajukan oleh satu pihak yang berkepentingan dan menghasilkan produk hukum berupa penetapan atau istbat. Kompetensi peradilan agama mencakup perkara antara orang-orang beragama Islam dengan objek yang berkaitan dengan hukum perdata Islam. Prosedur pengajuan gugatan atau permohonan dilakukan sesuai bidang perkara seperti perkawinan, waris, hibah, wasiat, zakat, wakaf, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.
Selanjutnya, bab keempat menguraikan proses perkara di pengadilan, Proses penyelesaian perkara di pengadilan agama dimulai dari tahap pendaftaran gugatan atau permohonan secara tertulis di kepaniteraan pengadilan dengan melampirkan surat kuasa apabila diwakilkan. Setelah pendaftaran, ketua pengadilan menetapkan majelis hakim yang terdiri atas tiga orang dan memerintahkan pemanggilan para pihak untuk bersidang. Persidangan meliputi tahapan jawab-menjawab, pembuktian, kesimpulan, dan pembacaan putusan. Dalam prosesnya dimungkinkan adanya pihak ketiga yang ikut serta (intervensi), perdamaian antara pihak-pihak, serta pencabutan atau perubahan gugatan. Selain itu, dikenal pula mekanisme konvensi dan rekonvensi atau gugatan balik yang dapat diajukan oleh pihak tergugat terhadap penggugat.
Bab kelima menjelaskan mengenai pembuktian dalam hukum acara peradilan agama. Pembuktian merupakan tahap penting untuk meyakinkan hakim mengenai kebenaran peristiwa hukum yang menjadi dasar sengketa. Asas pembuktian yang berlaku menegaskan bahwa siapa yang mendalilkan suatu hak harus membuktikan dalilnya. Alat bukti yang sah dalam hukum acara perdata antara lain surat atau dokumen, kesaksian saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Hakim memiliki kebebasan menilai kekuatan pembuktian berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada alat bukti yang sah (conviction raisonnée). Tujuan pembuktian adalah untuk memberikan dasar yang kuat bagi hakim dalam menetapkan kebenaran hukum dan menjamin tercapainya keadilan yang objektif.