Apa yang dirasakan orang tua ketika harus melepas anaknya menempuh pendidikan di luar kota? Sedih, sepi, dan cemas. Begitu juga yang saya rasakan saat merantaukan anak saya.
Bagi seorang ibu, anak tidak pernah benar-benar dewasa. Rasanya masih ingin menyiapkan sarapan, bekal, bahkan menemaninya berangkat sekolah.
Namun ketika ia pergi, rutinitas itu hilang. Rumah terasa kosong, masakan kehilangan semangat, dan pikiran sering melayang: apakah dia sudah makan, bajunya sudah dicuci, atau sehat-sehat saja?
Kekhawatiran makin besar ketika pesan tak terjawab atau telepon tak diangkat. Pikiran negatif datang silih berganti, padahal kenyataannya anak baik-baik saja: kuliah, makan teratur, bahkan belajar mengurus diri.
Awalnya saya sering dilanda cemas seperti itu. Sampai akhirnya kami membuat kesepakatan: setiap malam, kalau sempat, saling menelpon lewat video. Kadang hanya sebentar, kadang panjang.
Malam ini misalnya, awalnya telepon saya tak diangkat. Saya mencoba berpikir positif; mungkin ia masih makan di luar. Tak lama kemudian, ia menelpon balik sambil bercerita baru selesai makan dan mencuci baju.
Bahkan saya melihatnya menyetrika dengan cekatan. Saya bertanya kenapa tidak menggunakan jasa laundry, ia menjawab singkat, "Aku punya waktu, Ma." Lalu kami mengobrol ringan, tertawa, bercerita tentang hari-hari kami, hingga tanpa terasa dua jam berlalu.
Momen sederhana itu membuka mata saya. Ia semakin mandiri: pandai mengatur waktu, menjaga kesehatan, bahkan tetap butuh teman ngobrol.
Saya hanya menegaskan, "Kalau kamu sepi, Mama selalu ada buat kamu." Hubungan kami lebih hangat, bukan lagi ibu yang menggurui, tetapi teman yang saling mendengarkan.
Saya belajar, anak justru akan senang ditelepon bila kita tidak berlebihan menasihati. Biarkan mereka berproses. Merantau adalah masa penuh trial and error.