Lihat ke Halaman Asli

Anisya Meila Luthfi

Mahasiswa UIN WALISONGO

Panic Buying Jadi Pusing

Diperbarui: 23 Juli 2021   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pasca pandemi banyak hal-hal baru yang terkesan asing bagi masyarakat. Banyaknya korban yang berjatuhan menimbulkan banyak kepanikan, bukan hanya pada pemerintahannya saja namun juga apadaya seluruh masyarakat dunia.

Mulai dari harus tetap berada didalam rumah, tidak boleh berdekatan satu sama lain, melakukan pekerjaan hanya boleh melalui virtual, wajib mengenakan masker dan banyak hal lainnya.

Ketika virus Covid-19 menyerang, tak hanya banyak aktivitas yang terhambat karena berbagai peraturan baru yang muncul. Beragam situasi pun turut menyelimuti penduduk bumi salah satunya yang sering saya dengar yaitu mengenai panic buying.

Beragam sumber telah menjelaskan mengenai panic buying ini sendiri, semakin banyak pihak yang turut berdedikasi mengenai permasalahan tersebut, membuat saya ingin ikut angkat bicara.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan panic buying ini? Panic buying adalah suatu kondisi dimana kebanyakan orang secara mendadak membeli banyak perlengkapan dan kebutuhan lainnya, seperti makanan, bahan bakar, dll dengan jumlah yang banyak, hal ini disebabkan oleh rasa cemas akan sesuatu hal buruk yang bisa terjadi kapan saja.

Lantas apa yang akan terjadi jika khusus ini terus berlanjut, siapa saja yang akan dirugikan? Situasi ini sangatlah tidak kondusif, dimana akan munculnya peningkatan yang cukup cepat dalam sistem pembelian yang bisa menjadikan harga jual suatu barang menjadi naik.

Para konsumen yang ada pada lingkup panic buying akan mengalami keresahan dan kecemasan yang berlebihan mengenai kekurangan suatu kebutuhan  dihati yang akan datang.

Dalam pandangan saya, masyarakat dengan keadaan panic buying dapat dikatakan dengan konsumen yang serakah, bagai mana tidak mereka menghabiskan uangnya demi memenuhi kebutuhannya yang bahkan dikatakan terlalu berlebihan, dan tidak memikirkan kesejahteraan konsumen lain.

Yang ada diotak pelaku hanya panik panik dan panik, jika kebutuhan  sudah ada mereka akan merasa itu belum cukup dan masih kurang. Hal ini dapat dikontraskan dengan panic selling dimana penderitanya akan merasakan ketakutan yang sangat berlebihan.

Belum usai pandemi, artinya belum berakhir pula situasi menjengkelkan ini, apa gunanya memborong rangakain kebutuhan  hanya untuk kebutuhan pribadi, tidakkah terpikirkan tentang kebutuhan orang lain juga.

Saya mengira aksi serakah ini tidak bisa ditanggungi lagi, jika konsumsi barang berkurang artinya proses penjualan akan mengalami penaikan permintaan pasar yang berlebih itu mengapa banyak sekali barang-barang yang harganya melambung tinggi dari sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline