Lihat ke Halaman Asli

Anggi Hafiz Al Hakam

Eksisto Ergo Sum

Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Jejakan Mata

Diperbarui: 3 September 2015   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sang pemimpin telah menyatakan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan Chajusong, kreativitas dan kesadaran."
- Kim Jong-Il, On the Juche Idea (1982: 9)

 

Seno Gumira Ajidarma datang ke Pyongyang sebagai juri pengganti untuk Festival Film Internasional Pyongyang ke-8 pada tahun 2002 silam. SGA menggantikan Marselli Sumarno di ajang bernama Festival Film Negara-Negara Non-Blok dan berkembang Lainnya (8th Pyongyang Film Festival of Non-Aligned and Other Developing Countries). Festival ini berlangsung dari tanggal 4 sampai 13 September 2002. Festival ini berlangsung setiap dua tahun sekali, sebagai negara sahabat Indonesia selalu mengirimkan film dan delegasi kesana.

Buku ini tampil dengan desain lansekap, memuat 10 esai dan 1 tulisan pengantar dengan cetakan warna foto hitam putih. Tampilan seperti ini sungguh mengungkap nilai klasik di setiap karya fotonya. Maklum, saat itu belum musim kamera digital. Sehingga, ia yang sudah terlanjur akrab dengan kamera SLR manual Nikon FM-5 berusaha mendapatkan gambar sebanyak mungkin.

Cerita dibalik datangnya SGA ke negeri komunis ortodoks ini semakin menguatkan profil SGA sebagai kritikus film selain karena bukunya yang berjudul "Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra, Festival Film Indonesia, 1973-1992" (Yayasan Bentang Budaya, 2000). Pada buku ini, mohon maaf apabila pembaca tidak banyak mendapatkan jejak mata dari film-film yang beradu di festival. SGA memusatkan perhatiannya pada kota Pyongyang itu sendiri. Kota yang jadi ibukota Republik Rakyat Demokratik Korea, negeri komunis ortodoks yang masih tersisa di muka bumi. Untuk tidak menyebutnya sebagai ibukota Korea Utara.

SGA mengamati bermacam-macam perilaku manusia selama 17 hari masa penugasannya. Ia menghasilkan catatan dan jejak mata berupa foto-foto, yang hanya bisa didapatkan dengan menyiasati berbagai larangan. Ia sendiri heran mengapa baru bisa mulai menulis kembali semua kesan yang menempel diingatannya 10 tahun kemudian.

Kematian Kim Jong-Il punya peran besar dalam penulisan pengalaman yang sudah satu dekade berlalu. Selain itu, cerpennya yang berjudul "Melodrama di Negeri Komunis" yang ditulisnya semasa tinggal di Pyongyang juga sudah dibukukan dalam "Aku Kesepian, Sayang: Datanglah Menjelang Kematian" (Gramedia Pustaka Utama, 2002) dan dimuat kembali dalam harian Media Indonesia, 1 Desember 2002.

Tulisan diawali dengan esai pengantar mengenai alasan kedatangannya ke Pyongyang hingga momen penyadaran yang membuatnya mau menuliskan kembali segenap pengalamannya itu. Satu hal yang tidak pernah berubah. Foto Lenin dan Karl Marx di pusat kota Pyongyang. Esai kedua memuat pengalaman unik  ketika para juri tiba di restoran. Esai ketiga berjudul "Ditempel Intel Mehong", bercerita tentang para pemancing di tepi sungai yang ditemui SGA ketika memotret sambil menikmati pagi. Rupanya, satu diantara pemancing itu adalah seorang intel karena SGA mendapat 'teguran' ketika bertugas sebagai juri pada siangnya.

Potret kehidupan masyarakat yang semakin dalam dapat dibaca pada catatan selanjutnya yang berjudul "Regulasi Cinta & Escort Lady", "Ribetnya Memotret di Pyongyang", "Modernitas Serba Kelabu", "Dalam Penjara Ideologis" dan "Busana Formal Kaum Proletar". SGA mengalami keseragaman total sebagai corak utama negeri yang dibangun atas filsafat komunisme Juche. Seno juga mempersoalkan dialektika materialisme dengan sosialisme, serta hubungannya dengan semangat patriotisme yang menurutnya kelabu. Negara ini juga termasuk unik, karena selalu menganggap dirinya modern, walaupun pemahaman modern disini tidak memiliki arti yang sama dengan modernitas yang dialami negeri komunis lainnya seperti Vietnam dan China.

Seno juga menunjukkan gugatannya atas peranan Negara terhadap kehidupan rakyatnya. Seperti kemunafikan, begitu tulisnya, saat menjumpai permainan judi di lantai dasar hotel yang ditempatinya. Negara sudah jelas menjadi bandar atas permainan judi itu, yang juga merupakan simbol kapitalisme diatas semangat ideologi anti-kapitalismenya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline