Lihat ke Halaman Asli

Anggi Asmara

Guru Swasta

Ruh Dan Jasad Pendidikan Kita

Diperbarui: 24 Juli 2025   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam suatu momen penting dalam kehidupan kita sekarang ini, pendidikan menjadi salah satu elemen yang mengisi momen-momen kehidupan kita sehari-hari. Pelaksanaan dan penyusunan kurikulum pendidikan menjadi sebuah buku bacaan yang sepertinya hanya laris dibaca lima tahun sekali, itu pun karena kita dipaksa untuk membacanya, karena sudah bisa dipastikan dalam momentum atau kurun waktu tersebut akan datang wajah dan nama baru dalam pendidikan formal kita.

Guru dan siswa dalam pusaran arus pendidikan sebenarnya paling merasakan dampak dari bongkar pasang sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan. Mereka dipaksa mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang kilat itu, akan tetapi tidak pernah dimengerti bagaimana mereka bisa dengan sepersekian waktu mampu memahami dan mengaplikasikannya dalam praktik pembelajaran di kelas-kelas.

Aturan-aturan yang disusun di dalam dan di balik meja kerja berlapis kepentingan dan euforia pendidikan itu sering---dan mungkin---berusaha agar terlihat menarik pada pandangan pertama, sehingga apa pun yang dibicarakan akan didengar dan di-"iya"-kan sebagai sabda kebenaran absolut yang harus segera disebarluaskan dalam berbagai pelatihan atau seminar-seminar pendidikan.

Keangkuhan kita, dalam hal ini pendidikan, sebenarnya tidak bisa kita pungkiri. Kita sering kali menunjukkan daftar tujuan pendidikan dan metode serta metodologi evaluasi yang kian absurd dan tak peduli dengan tujuan bangsa. Yang saya maksudkan bukan berarti pendidikan tidak berperan atau setidaknya mencoba berperan dalam memfasilitasi tercapainya tujuan mulia bangsa kita dalam berpuluh atau beratus tahun ke depan.

Namun, sayangnya, alih-alih memperhatikan cita-cita bangsa, pendidikan justru lebih tertarik dengan metodologi dan gaya make-up pendidikan luar negeri. Mungkin karena akan terlihat begitu keren ketika kita mampu adaptif dengan metode atau standar pendidikan internasional, sehingga tanpa kita sadari, kita sendiri sedang mengecilkan ide kita sebagai bangsa yang sampai saat ini masih bersepakat untuk tetap utuh dalam satu kesatuan bangsa dan negara.

Seandainya saja kita sebagai manusia pendidikan dan pengguna jasa penyelenggaraan pendidikan itu mau sedikit---atau sedetik saja---merenungi akan pentingnya ide Republik itu disengkuyung, tentunya tidak akan ada drama lima tahunan pendidikan itu berganti karakter dan penokohannya, sehingga kita tidak repot untuk pindah panggung pertunjukan.

Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah sekerdil itu cita-cita bangsa Indonesia, sehingga elemen yang seharusnya lebih peka terhadap keberlangsungan dan kelancaran serta tercapainya ide atau cita-cita itu tidak berani---dan agak malu---untuk memunguti kepingan cita-cita bangsa untuk dijadikan tidak sekadar jasad, namun ruh pendidikan, sehingga cara berpikir, bertindak, dan mengaktualisasikan pendidikan itu tidak sekedar ada-namun memiliki jiwa.

Ruh itu bisa kita lihat dalah karakteristik bangsa, dimana semua manusia yang melaksanakan kepetingannya sebagai makhuk sosial enggan bersosialisasi, enggan mecondongkan dirinya pada kesibukan sosial di masyarakat. Kita mungkin sudah melampaui kesadaran itu, mungkin. Dalam hal pergaulan dalam hidup kita akhirnya keinginan untuk saling memahami satau sama lain sudah menjadi barang yang begitu eksklusif, menakar semua langkah berdasarkan kepentingan yang mengerucut pada uang.

Keangkuhan itu mungkin dalam hal ini tidak menjadi hal yang prioritas saya bahas, namun dari beberapa gelintir keangkuhan yang kita nikmati itulah kemudian menjadikan akal kita sulit untuk menerima sebuah kenyataan, bahwa kita mampu berguna bagi orang lain. Namun alih -- alih mensifatkan keberdayagunaan kita itu untuk bisa menjumpakan dengan tangis tetangga, derap pincang manusia yang tebuang. Kita justru ikut dalam pusaran penonton panggung komedi yang selalu menertawakan setiap gerik dan ucapan para tokoh di atas panggung. Mungkin begitulah akhir hidup pendidikan kita. pendidikan yang mencontoh kepentingan asing daripada kepentingan kita sendiri. Hingga tak terasa, pendidikan gagal mencetak manusia yang dapat memahami bahwa dia adalah manusia, bukan robot tanpa rasa.

Sekelumit dari kisah pendidikan yang menari -- nari di atas panggung pertunjukan itu, merupakan gambaran kecil dari pertumbuhan karakter kita. Pertumbuhan yang mengarah pada pengkerdilan ide, pemusatan kebenaran, dan keangkuhan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan. Pendidikan dalam rangka penyelarasan dengan kebutuhan hidup kita sebagai bangsa, seharusnya memberikan manfaat dasar bagi keberlangsungan bangsa itu sendri. Dalam artian, pelaksanaan dan perencanaan kebijakan pendidikan itu perlu melihat bagaimana dan kemana bangsa ini akan melangkah. Dan pendidikan ada di lingkaran itu sebagai penunjuk arah, sebagai jalan menuju terciptanya keberlangsungan bangsa yang tidak sekedar hidup namun memilki karakter dan menggenggam martabatnya.

Akan tetapi sebagai manusia yang saya juga hidup di dalam jasad dan ruh Ibu Pertiwi, bagaimanapun saya tetap mengharapkan perkembangan pendidikan yang mampu mengelaborasi dan kerjasama dalam segala bidang keilmuan untuk meresapai bagaimana kita dalam pendidikan mampu melestarikan kebijaksanaan dan mendapatkan kembali arah jelas dalam kebangsaan kita itu. Suatu saat nanti, semoga saja ada seorang kesatria pendidikan yang mampu mengarahkan pendidikan untuk melakukan kewajibannya yakni mencerdasakan anak bangsa. Kecerdasan yang tak hanya bersifat intelektualitas semata, namun dapat mengarahkan pada kecerdasan spiritualitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline