Lihat ke Halaman Asli

Ando Ajo

TERVERIFIKASI

Freelance Writer

Cerpen: XYZ

Diperbarui: 24 Maret 2016   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: http://data.hdwallpapers.im/silent_hill_hd_collection.jpg"][/caption]Daan menghela napas, melepas sarung tangan karet berwarna hijau dari kedua tangannya. Lantas berdiri, melangkah menjauhi jasad kaku, meninggalkan sisanya pada tim forensik.

“Jadi,” songsong Dwipa, menyandarkan tubuhnya ke badan mobil. “Kaumenemukan sesuatu, Daan?”

Daan mengempaskan napas, dua tangan berada di sisi pinggang. “Entahlah… semua masih ambigu. Satu-satunya kesamaan, kemaluan korban yang hilang,” Daan menggerakkan kedua tangan sejajar bahu, menegaskan kata: hilang, pada ucapannya.

 Dwipa melipat kedua tangan ke dada, berpikir sejenak. “Dan ini, korban keempat…” desahan yang mengakhiri ucapannya seakan meneriakkan pada Daan, jika sang Kepala Bareskrim Polda Bali tersebut berharap pelaku—yang belum diketahui itu—tertangkap secepatnya. Begitu pula: mengungkap motif pelaku yang mengebiri kemaluan korbannya.

Ya, Daan sangat mengerti itu: keresahan warga, alih-alih wisatawan. Dan sampai korban keempat ini, pihak Kepolisian masih mampu menutupi. Tapi, andai jatuh korban lagi dan lagi, Daan sama khawatirnya dengan sang atasan. Bali, akan kembali ditelan ketakutan.

“Bagaimana dengan ide; profesionalisme-nya?”

Daan pun menyandarkan punggungnya ke mobil di hadapan Dwipa. “Yaa, saya masih memiliki prasangka pelakunya seorang dokter bedah—setidaknya seseorang yang sangat mengerti organ manusia.”

“Soal, darah?”

Ya, itu benar. Tidak setetes darah pun ditemukan tercecer di TKP, tidak pula semenjak TKP pertama hingga keempat. Inilah yang memusingkan Daan sebagai “orang andalan”  dalam tubuh Divisi Investigasi. Bahkan hal ini pun sudah dipastikan oleh tim forensik yang tidak menemukan ceceran darah meski telah menggunakan cairan luminol di sekitar TKP.

Daan tidak mampu menjawab pertanyaan Dwipa, terlalu sulit, pikirnya. Penjahat macam apa yang mau bersusah-susah agar darah korban tidak tercecer?

Dwipa merentangkan kedua tangan, memutar-mutar leher mencoba mengusir rasa pegal di tubuh. “Pukul tiga lewat sepuluh,” ujarnya melirik Daan. “Pulanglah, tenangkan pikiran, kami mengandalkanmu. Pastikan paling lambat jam sembilan pagi nanti, aku sudah menerima laporanmu di mejaku.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline