Lihat ke Halaman Asli

Andi Maulana

Kamus Institute / Penulis Opini dan Berita

Pancasila di Tengah Polarisasi: Mengembalikan Akal sehat Politik Bangsa

Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr Heri Solehudin Atmawidjaja, MM.

DEPOK -Tanggal 1 Oktober selalu menjadi momen refleksi tentang arti Kesaktian Pancasila. Setiap tahun, bangsa ini diajak mengingat kembali betapa pentingnya lima sila itu menjadi penuntun arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di tengah situasi sosial politik yang semakin terpolarisasi, makna kesaktian itu kerap hanya berhenti sebagai seremoni kenegaraan, bukan kekuatan moral yang mengikat nurani bangsa.

Pancasila Diuji oleh Polarisasi

Sejak beberapa tahun terakhir, ruang publik kita dipenuhi oleh narasi-narasi yang membelah. Perdebatan politik tak lagi sehat; ia berubah menjadi pertarungan identitas, bahkan permusuhan sosial. Media sosial menjadi arena tempur, di mana logika dikalahkan oleh fanatisme dan informasi benar dikubur oleh sensasi.

Dalam suasana seperti ini, Pancasila sedang diuji kesaktiannya. Ideologi yang seharusnya menjadi perekat justru sering dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok. Banyak pihak mengaku paling Pancasilais, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Padahal, semangat Pancasila bukan untuk menonjolkan siapa paling benar, melainkan untuk memastikan semua pihak tetap berada dalam koridor persatuan.

Krisis Akal Sehat Politik

Salah satu tanda paling nyata bahwa Pancasila mulai kehilangan pengaruh substantif adalah menurunnya akal sehat dalam politik. Rasionalitas publik dikaburkan oleh propaganda dan narasi hitam-putih. Oposisi dianggap musuh, kritik dimaknai sebagai kebencian, dan loyalitas sering diukur dari seberapa keras seseorang membela figur, bukan gagasan.

Dalam konteks ini, Kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai kesaktian akal sehat, yakni kemampuan bangsa untuk tetap berpikir jernih, berdebat secara beradab, dan mengutamakan kepentingan bersama. Nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan seharusnya menjadi pagar moral yang menahan kita dari keterbelahan ekstrem.

Media Sosial dan Perang Persepsi

Fenomena polarisasi politik tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Algoritma yang diciptakan untuk menyenangkan pengguna justru membangun ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar pendapat yang sejalan dengannya. Akibatnya, kemampuan untuk memahami perbedaan semakin menurun.

Dalam suasana seperti itu, Pancasila perlu hadir dalam ruang digital bukan sebagai jargon normatif, tetapi sebagai nilai yang dihidupkan. Misalnya, prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat diterjemahkan sebagai etika berdigital: menghormati perbedaan pandangan, menolak ujaran kebencian, dan menumbuhkan empati dalam berkomunikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline