Pelayanan publik merupakan rangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan layanan sesuai dengan ketentuan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara masyarakat dan penyedia layanan yang menjadi sarana untuk mencapai pengelolaan pemerintahan yang lebih baik. Ansell & Gash (2008) menjelaskan bahwa Collaborative Governance merupakan sistem kerja sama antara pemerintah, pihak swasta, komunitas masyarakat, serta aktor non-pemerintah lainnya dalam merancang dan melaksanakan kebijakan publik dengan cara yang inklusif. Pelayanan publik kolaboratif menekankan pentingnya kerja sama antarpihak untuk mencapai tujuan bersama melalui pertukaran sumber daya, data, dan keahlian agar pelayanan lebih efisien dan sesuai sasaran.
Kasus keracunan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi contoh penting terkait perlunya pelayanan publik yang bersifat kolaboratif. Program yang digagas oleh Prabowo Subianto ini bertujuan memberikan asupan gizi seimbang bagi siswa sekolah dasar untuk menekan angka stunting. Namun, sejak peluncurannya, beberapa daerah mengalami kejadian keracunan massal akibat makanan yang dikonsumsi dari program tersebut. Kegagalan ini menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan publik tidak hanya bergantung pada perencanaan, tetapi juga pada efektivitas kolaborasi di seluruh tingkatan pelaksanaannya. Agranoff dan McGuire menekankan pentingnya kerja sama dalam jaringan (networked collaboration), komunikasi terbuka, pertukaran sumber daya, dan nilai timbal balik antara aktor yang saling bergantung. Efektivitas manajemen publik bergantung pada kemampuan membangun kepercayaan, koordinasi, dan adaptasi di tengah kompleksitas hubungan antar organisasi.
Dalam praktiknya, model kolaborasi dalam manajemen publik yang ideal belum sepenuhnya terimplementasi pada program MBG. Pemerintah memang melibatkan banyak pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, sekolah, hingga penyedia makanan, tetapi hubungan yang terbangun masih bersifat formal dan vertikal. Pemerintah pusat menjadi pengendali utama kebijakan, sementara pemerintah daerah dan sekolah hanya berperan sebagai pelaksana teknis dengan kewenangan terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa jejaring kolaboratif yang ada belum mencerminkan nilai timbal balik dan kesetaraan. Program MBG seharusnya dapat memberdayakan pelaku UMKM, koperasi, dan petani dalam rantai pasok makanan (Basit & Ramadani, 2025). Akan tetapi, mekanisme pengadaan yang dikuasai secara terpusat menghambat peluang ekonomi lokal, sehingga hubungan kerja lebih menyerupai pola vertikal daripada kolaborasi lintas sektor.
Koordinasi juga menjadi kelemahan utama dalam pelaksanaan MBG. Seharusnya kerja sama antar sektor dilakukan secara terintegrasi antara kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga pengawas seperti BPOM. Namun, mekanisme pengaturan program berjalan secara sektoral, di mana setiap instansi melaksanakan tugas tanpa sistem komunikasi yang responsif (Felix et al., 2025). Ketika kasus keracunan terjadi, koordinasi antara sekolah, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah berjalan lambat. Pemerintah pusat lebih menonjolkan komunikasi politik ketimbang manajemen krisis yang kolaboratif (Hadi et al., 2025). Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi masih bersifat vertikal dari pusat ke daerah, sementara koordinasi horizontal antarsektor belum efektif.
Selain itu, terdapat ketidakseimbangan sumber daya antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat memang menyediakan dana besar, tetapi kapasitas daerah dalam menata logistik dan pengawasan masih terbatas. Akibatnya, banyak daerah tidak siap melaksanakan program sesuai standar, sehingga berdampak pada kualitas makanan dan keamanan siswa. Dalam manajemen publik kolaboratif, pembagian sumber daya seharusnya bersifat dua arah: pusat memberikan dukungan finansial dan kebijakan, sementara daerah berkontribusi melalui pengetahuan lokal dan inovasi lapangan.
Aspek akuntabilitas juga belum menunjukkan praktik kolaboratif yang ideal. Pemerintah masih menggunakan pola akuntabilitas formal yang tertutup tanpa melibatkan masyarakat (Hadi et al., 2025). Dalam konteks manajemen publik kolaboratif, akuntabilitas tidak hanya berupa tanggung jawab administratif, tetapi juga keterbukaan terhadap masyarakat dan kerja sama dengan aktor lain seperti LSM, media, dan kelompok masyarakat. Partisipasi publik sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan meningkatkan kepercayaan terhadap program (Basit & Ramadani, 2025).
Pelaksanaan MBG masih menunjukkan dominasi pola manajemen vertikal yang menekankan kontrol dan instruksi, bukan kolaborasi dan kepercayaan. Bentuk kerja sama yang terjadi lebih bersifat formal lintas sektor, tetapi belum mencapai tingkat kolaborasi yang sejati. Program ini mencerminkan kelemahan dalam pengelolaan interaksi antaraktor di berbagai level pemerintahan, serta belum optimal melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan pelaksanaan. Padahal, inti dari manajemen publik kolaboratif seperti dijelaskan Agranoff dan McGuire terletak pada kemampuan pemerintah untuk beradaptasi dalam mengelola hubungan antarorganisasi, mengoordinasikan tindakan kolektif, serta menciptakan nilai bersama melalui komunikasi yang terbuka. Ketidakberhasilan program MBG dalam mencegah kasus keracunan dan lemahnya koordinasi bukan hanya masalah teknis, tetapi juga mencerminkan tantangan manajerial dalam pengelolaan kolaborasi.
Sumber Referensi:
Asep Mulyana. (2023). Strategi Collaborative Governance dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. 11, 18--26.
Basit, M., & Ramadani, H. (2025). Analisis Implementasi Program Makan Bergizi Gratis Terhadap Perkembangan Ekonomi. Journal of Economics Development Research, 1(2), 49--54. https://doi.org/10.71094/joeder.v1i2.105
Felix, K., Emmanulle, V., Saputra, R. A., Sena, A., Yuda, P., Wicaksana, D. P., & Kamal, U. (2025). Keracunan Program Makan Siang Bergizi Gratis dalam Tinjauan Hukum Kemasyarkatan dan Aspek Negara Berkembang. 01(04), 1329--1342.