Olahraga ini dimainkan dengan raket, dilakukan di lapangan mungil di dalam ruangan yang dikelilingi kaca. Bukan bulutangkis, bukan pula tenis. Olahraga apakah itu? Itu adalah olahraga padel, olahraga yang tengah naik daun.
Hampir di setiap sudut Jakarta dan kota-kota besar lainnya, iklan dan papan nama lapangan padel kini mudah dijumpai. Olahraga raket ini sedang meningkat popularitasnya, memadukan unsur tenis dan squash yang dimainkan di lapangan kecil, dan kini menjadi tren baru di kalangan urban. Dikenal sebagai olahraga yang lahir di Meksiko pada 1969, padel menawarkan permainan berdurasi singkat dengan aturan yang simpel namun tetap menantang. Hal yang menjadi ciri khas dari olahraga ini adalah keunikannya yang menggabungkan aktivitas fisik dengan interaksi sosial. Tak hanya sekadar olahraga, padel menawarkan pengalaman “olahraga rasa nongkrong” yang menyenangkan. Tak heran jika banyak anak muda yang menjadikannya sebagai gaya hidup, terutama bagi yang ingin tetap bugar namun sekaligus membangun koneksi di tengah ritme ibu kota yang sibuk.
Namun, kini di media sosial sedang ramai perbincangan tentang pengenaan pajak terhadap olahraga padel. Tak sedikit warganet menyuarakan pendapat mereka mengenai pengenaan pajak terhadap olahraga ini. Ramainya diskusi ini tidak lepas dari popularitas padel yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Lalu, bagaimana sebenarnya? Apakah benar olahraga padel dikenakan pajak?
Benar, padel merupakan salah satu olahraga yang dipungut pajak atas penyewaan lapangan olahraganya. Namun, pajak yang dipungut adalah pajak daerah, bukan pajak yang dikelola pemerintah pusat.
Penyewa lapangan padel dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar maksimal 10%, yang akan dipungut oleh penyedia jasa dan disetorkan ke kas daerah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah contoh pemerintah daerah yang telah menetapkan padel sebagai salah satu olahraga yang menjadi objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Nomor 257/2025.
Lalu, apa perbedaan pajak pemerintah daerah dan pajak pemerintah pusat?
Pajak daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah (Provinsi dan/atau kabupaten/kota) melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan pajak pemerintah pusat adalah pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan masuk ke kas negara. Pemerintah pusat melalui DJP hanya mengelola enam jenis pajak pusat, yaitu:
- Pajak Penghasilan (PPh)
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
- Bea Meterai;
- Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, Migas, Minerba (PBB – P5L)
- Pajak Karbon (sedang dalam tahap implementasi)
Sementara itu, pajak daerah terbagi menjadi dua kategori, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Pajak yang dikelola pemerintah provinsi antara lain:
- Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) atau Balik Nama;
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) saat pembelian BBM;
- Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah;
- Pajak Air Permukaan; dan
- Pajak Rokok.
Selain itu, beberapa contoh pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
- Pajak Hotel;
- Pajak Restoran;
- Pajak Hiburan;
- Pajak Reklame;
- Pajak Penerangan Jalan;
- Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
- Pajak Parkir;
- Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT); dan
- Dan pajak-pajak lainnya sesuai Peraturan Daerah terkait.