Stroke adalah kondisi yang memiliki beberapa gejala dan hilangnya peran sistem saraf pusat fokal (atau global) yang terjadi dalam waktu yang cepat (detik atau menit). (Nadhifah, 2019) Tentunya penyakit tersebut sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Namun, bagaimana jika penyakit tersebut menyerang lansia yang aktivitasnya sudah berkurang seperti biasanya?
Lanjut usia termasuk dalam populasi beresiko, yang didefinisikan sebagai kelompok orang dengan masalah kesehatan yang kemungkinan akan menjadi lebih buruk karena beberapa faktor. Menurut penelitian yang ditulis oleh Tsuryana Syarif, beberapa masalah Kesehatan kerap kali menyerang lansia, seperti hipertensi, diabetes, stroke, artritis, PPOK, bahkan jantung koroner.
Makalah ini memuat pengetahuan terkait penyakit stroke yang menyerang lansia, mulai dari pengertian secara umum, etiologi, dampak terhadap lansia, serta peran keluarga terkait.
2.1 Definisi Penyakit Stroke
Hilang aliran darah ke otak secara tiba-tiba yang biasanya disebabkan oleh pecahnya atau oklusi arteri serebral utama dikenal sebagai stroke.
Jika plak berada pada pembuluh darah otak atau aliran darah ke otak terganggu, sirkulasi darah ke otak akan terganggu.
Oleh karena itu, salah satu mekanisme ini biasanya dikaitkan dengan tanda dan gejala neurologis fokal yang menunjukkan bahwa penyakit serebrovaskular sedang berkembang.
2.2 Etiologi Stroke
Stroke biasanya diklasifikasikan menjadi dua jenis: iskemik (akibat sumbatan pada lumen pembuluh darah otak) dan hemoragik (akibat perdarahan). Sebanyak 88% stroke adalah iskemik, yang terjadi ketika lumen pembuluh darah otak tersumbat. Stroke hemoragik, juga dikenal sebagai stroke perdarahan, terjadi ketika pembuluh darah otak pecah.
Berbagai manifestasi klinis dari gangguan vaskularisasi otak ini termasuk kesulitan berbicara, kesulitan berjalan dan mengkoordinasikan bagian-bagian tubuh, sakit kepala, kelemahan otot wajah, gangguan penglihatan, gangguan sensori, gangguan pada proses berpikir, dan hilangnya kontrol terhadap gerakan motorik. Disfungsi motorik seperti hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh) atau hemiparesis (kelemahan pada satu sisi tubuh) adalah beberapa contoh disfungsi vaskularisasi
Komplikasi lebih mungkin muncul karena pasien yang mengalami disfungsi motorik mengalami kesulitan untuk menggerakkan bagian tubuhnya. Sebanyak 51% kematian terkait imobilisasi terjadi pada 30 hari pertama setelah serangan stroke iskemik. Imobilitas juga dapat menyebabkan kekakuan sendi (kontraktur), komplikasi ortopedik, atropi otot, dan kelumpuhan saraf akibat penekanan yang lama (nerve pressure palsies).
2.3 Dampak Stroke pada Aktivitas Lansia
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan bahwa lebih banyak kasus stroke terjadi di kelompok umur 55-64 tahun, atau 33 persen dari total kasus stroke di Indonesia. Proporsi kejadian stroke pada laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan 63.3% pada daerah perkotaan dan 36.1% pada daerah perdesaan. Di DKI Jakarta, prevalensi stroke adalah 12.2%. Stroke pada orang tua adalah masalah yang kompleks dan memengaruhi keluarga dan orang lain.
Faktor-faktor yang terjadi pada orang tua dapat menyebabkan kondisi jangka panjang, seperti kecacatan perubahan fisiologis pada lansia kulit menjadi kering, penipisan rambut, pendengaran menurun, reflek batuk, dan penurunan curah jantung.
2.4 Peran Keluarga pada Pasien Geriatri Penyakit Stroke
Adaptasi yang perlu dilakukan oleh keluarga sebagai caregiver hendaknya secara menyeluruh (holistik) dilakukan meliputi adaptasi biologis, adaptasi psikologis, adaptasi sosial dan adaptasi spiritual.
1. Adaptasi Biologis
Lansia yang mengalami stroke membutuhkan perawatan mandiri yang cukup lama, dimana rata-rata family caregiver merawat lansia strok 5-9 jam per hari. Hal ini menyebabkan partisipan kelelahan secara fisik, mengalami gangguan tidur karena sering terbangun disaat lansia membutuhkan bantuan, dan merasa pusing karena mengalami gangguan pola tidur.
Ketergantungan lansia pada caregiver mengakibatkan bertambahnya tugas dan rutinitas yang harus dilakukan sehingga memicu respon fisik capek. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asniar (2007) yang melakukan penelitian untuk menggali pengalaman keluarga merawat anggota keluarga pasca stroke menunjukkan hasil bahwa sebagian anggota keluarga merasa capek dan jenuh karena harus menjalankan rutinitas yang berulang dalam waktu yang lama. Caregiver hendaknya mampu beradaptasi secara biologis untuk tetap menjaga kesehatannya, karena untuk merawat lansia yang sakit stroke dibutuhkan stamina yang prima. Jangan sampai jatuh sakit karena merawat orang sakit. Nutrisi yang seimbang, kecukupan istirahat tidur, dan penambahan vitamin maupun suplemen sangat dibutuhkan untuk caregiver.
2. Adaptasi Psikologis
Respon psikologis yang dialami caregiver bervariasi, salah satu faktor penyebabnya karena durasi lama waktu rawat dan proses perawatan yang dilakukan berbeda-beda pada masing-masing caregiver.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tooth et al. (2005), yang menunjukkan bahwa keluarga caregiver mengalami kecemasan dan depresi selama dua belas bulan pertama setelah stroke, terutama karena melakukan tugas (seperti memberi bantuan fisik) dan waktu perawatan (rata-rata lima hingga sembilan jam per hari untuk merawat lansia yang menderita stroke).
Faktor jenis kelamin juga berkontribusi pada variasi dalam respons psikologis orang tua terhadap perawatan mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pinquart et al (2005) caregiver perempuan cenderung mengalami stress dibandingkan dengan caregiver laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian dari keenam partisipan dua diantaranya berjenis kelamin perempuan dan empat diantaranya berjenis kelamin laki-laki.
Caregiver hendaknya meningkatkan pemahaman dan persepsinya bahwa merawat lansia yang menderita penyakit stroke membutuhkan waktu yang lama, sehingga mampu beradaptasi psikologis secara positif dengan menerima dan merawat lansia.
3. Adaptasi Sosial
Di antara adaptasi sosial yang dialami caregiver adalah perubahan peran mereka di dalam keluarga dan di masyarakat. Perubahan peran di dalam keluarga terkait dengan peran mereka dalam mencari nafkah dan membuat keputusan. Caregiver harus membagi waktu untuk bekerja dan merawat orang tua yang sakit, karena hal ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Leuckenotte (2006) bahwa caregiver yang bekerja dengan rutinitas merawat orang tua di rumah sering mengalami masalah dalam bekerja mereka dan dapat kehilangan pekerjaan mereka, yang menyebabkan masalah ekonomi keluarga.
4. Adaptasi Spiritual
Berdoa adalah cara yang paling umum untuk menunjukkan respons spiritual pada caregiver. NANDA (2015) mengatakan bahwa salah satu sifat spiritual adalah berhubungan dengan yang maha kuasa (The Power Greater Than Self). Berdoa (prays) adalah salah satu tindakan tersebut. Salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling penting adalah spiritual karena berhubungan langsung dengan dzat yang menciptakan, Allah SWT. Krisis dan perubahan dapat meningkatkan kedalaman spiritual caregiver. Misalnya, ketika anggota keluarga mengalami musibah sakit, caregiver dapat menganggapnya sebagai ujian dan cobaan untuk mendekatkan diri lagi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Komunikasi efektif dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kredibilitas pemberi pesan, relevansi dan ketepatan isi pesan, serta kesesuaian pesan dengan karakteristik penerima. Selain itu, kejelasan, kesinambungan, dan kapabilitas penerima juga merupakan aspek penting yang tidak boleh diabaikan. Memahami faktor-faktor ini akan membantu komunikator menyusun strategi komunikasi yang lebih baik dan meningkatkan efektivitas penyampaian pesan dalam berbagai situasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI