Lihat ke Halaman Asli

Bantuan China dalam Program Makan Bergizi Gratis sebagai Solusi Sekaligus Ketergantungan Baru

Diperbarui: 7 Maret 2025   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah diterapkan di berbagai sekolah di Indonesia sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi anak sekolah. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk memperkuat sektor UMKM dan ekonomi rakyat, serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Program serupa telah berjalan di berbagai negara dan pada tahun 2022 telah menjangkau hampir 418 juta anak di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, program ini dikenal sebagai National School Lunch Program, sementara di India disebut The Mid-Day Meal Scheme, dan di Afrika dikenal sebagai Homegrown School Feeding.

Menurut studi Bank Dunia tahun 2024, pemberian makanan bergizi dapat meningkatkan kehadiran dan partisipasi siswa serta membantu mengatasi masalah malnutrisi dan stunting. Di negara-negara maju, penelitian menunjukkan bahwa program ini juga dapat mengontrol pola makan sehingga menekan risiko obesitas dan diabetes pada anak sekolah. Sementara itu, data dari United Nations World Food Programme tahun 2021 menunjukkan bahwa di Afrika, program makan bergizi turut berperan dalam meningkatkan peluang bagi petani lokal, memperkuat ekonomi pedesaan, mendukung ketahanan pangan, serta mengurangi rantai pasok dan emisi karbon.

Di Indonesia, program MBG resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025 dan akan diterapkan secara bertahap di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA/sederajat di seluruh wilayah kabupaten/kota dengan mempertimbangkan keberlanjutan fiskal. Dalam pelaksanaannya, program ini juga memanfaatkan bahan makanan yang berasal dari sumber daya pangan lokal.

Di lain sisi, program makan bergizi gratis menuai berbagai kritik dan kontroversi. Pasalnya, dana untuk MBG ini tidaklah kecil, dana yang dibutuhkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) setiap bulannya mencapai Rp. 25 triliun, jika cakupan penerima mencapai 82,9 juta orang. Sementara itu, saat ini anggaran untuk program MBG berkisar Rp 1 triliun per bulan untuk 3 juta penerima manfaat. Pada tahun 2025, anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar Rp 71 triliun. Anggaran ini diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan program MBG, Maka dari itulah, pemerintah sejak jauh-jauh hari sudah menyiapkan antisipasi dengan bernegosiasi dengan negara lain untuk mendukung program ini.

Bantuan China kepada Indonesia pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto pada akhir tahun 2024 melakukan kunjungan dan negosiasi dengan negara China, kunjungan Prabowo menghasilkan dua kesepakatan cukup penting seperti investasi senilai US$ 10,07 miliar atau setara dengan Rp 157 triliun dan bantuan dana China untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Prabowo membawa pulang investasi US$ 10,07 miliar atau sekitar Rp 160 triliun (asumsi kurs Rp 15.900) dari kunjungannya ke China. Investasi itu tertuang dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara perusahaan Indonesia dan China. Adapun kerja sama itu digagas oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Komite Tiongkok (KIKT). Kerja sama itu melibatkan 20 perusahaan dari dua negara di bidang manufaktur, kesehatan, hilirisasi, ketahanan pangan, dan keuangan.

Selain itu, kunjungan Prabowo juga menghasilkan komitmen Pemerintah China untuk mendukung pendanaan program MBG. Dukungan pembiayaan itu disampaikan saat Prabowo menemui Presiden China, Xi Jinping. Dukungan itu dituangkan dalam MoU bertajuk Food Supplementation and School Feeding Programme in Indonesia. Namun, pemerintah tidak merinci berapa pendanaan yang diberikan China serta bentuk dukungannya.

Kerja sama dan bantuan yang diberikan China dalam berbagai sektor, termasuk program makan bergizi gratis, berimplikasi pada meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap negara tersebut. Salah satu indikator yang mencerminkan ketergantungan ini adalah peningkatan signifikan utang Indonesia kepada China dalam beberapa tahun terakhir. Dilansir dari CNBC, jumlah utang Indonesia kepada China terus mengalami tren kenaikan, yakni sebesar US$ 19,99 miliar pada 2019, meningkat menjadi US$ 20,65 miliar pada 2020, US$ 20,89 miliar pada 2021, dan meskipun sempat turun menjadi US$ 20,11 miliar pada 2022, kembali naik menjadi US$ 21,14 miliar pada 2023. Hingga Juni 2024, angka tersebut melonjak tajam menjadi US$ 23,08 miliar. Peningkatan ini menunjukkan bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China semakin kuat, menimbulkan tantangan tersendiri dalam menjaga kemandirian ekonomi nasional.

Ketergantungan Indonesia terhadap China dapat membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek, terutama dalam perdagangan. Jika ketergantungan ini terus meningkat, China akan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Dominasi China dalam perdagangan dapat membuat Indonesia kehilangan daya tawar dalam negosiasi perdagangan bilateral. Dengan ketergantungan yang tinggi, Indonesia berisiko harus mengikuti kebijakan ekonomi China, termasuk terkait impor barang dan investasi, yang bisa merugikan industri lokal. Selain itu, dominasi China dalam infrastruktur dan teknologi juga berpotensi menghambat pengembangan industri nasional karena lebih mengandalkan produk dan teknologi dari China. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline