Lihat ke Halaman Asli

Piknik Cantik ke Pusat Semburan Lumpur

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432805213171074477

Perjalanan kali ini membawa saya ke kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di kota satelit Surabaya tersebut, saya ingin sekali mengunjungi sebuah tempat yang menjadi destinasi wisata dadakan sejak beberapa tahun belakangan, yaitu tanggul lumpur panas PT Lapindo Brantas.

Untuk memasuki objek wisata itu, para pengunjung dipungut biaya sebesar sepuluh ribu rupiah. Itu hanya untuk memasuki tanggul saja. Belum termasuk biaya berkeliling tanggul. Cukup mahal memang untuk sebuah tempat wisata yang belum tertata dengan baik.

Sesuai arahan juru parkir di bawah (begitu saya menyebutnya), saya menyusuri tanggul dengan mengendarai motor. Namun begitu sampai di puncak tanggul, ada banyak pengojek yang berjajar di situ dan menawarkan jasa untuk memandu saya pergi ke pusat semburan lumpur.

Anda boleh memanfaatkan jasa ojek dengan menawar harga terlebih dahulu. Sebisa mungkin di bawah harga dua puluh ribu rupiah. Karena nanti Anda pasti dipungut biaya lagi sebesar lima ribu rupiah di pintu gerbang dekat lokasi semburan.

Saat menyusuri tanggul luapan lumpur Lapindo, Anda akan disuguhi hawa sejuk angin sepoi-sepoi. Di tempat tersebut tidak ada rumah penduduk. Hanya hamparan tanah kosong yang dahulunya adalah sebuah desa dengan nama Siring dan Jatirejo. Beberapa peralatan penyedot lumpur juga teronggok di situ. Ada pula kumpulan patung karya warga dan LSM yang terpasang di situ. Sebuah prasasti peringatan tragedi lumpur berdiri dengan gagah.

Begitu pun sesampainya di pusat semburan lumpur. Pandangan Anda akan menatap sebuah “lautan lumpur cair” dengan asap yang membumbung dan aroma belerang yang sesekali menusuk hidung.

Menurut pemandu wisata yang mendampingi saya, tepat di bawah tempat saya berpijak rumah-rumah penduduk, pabrik, sekolah, masjid dan pondok pesantren telah tenggelam. Para korban semburan lumpur yang dahulunya adalah buruh pabrik beralih profesi sebagai tukang ojek dan pengerajin batu akik.

Seusai meninggalkan pusat semburan lumpur, beliau mengajak saya untuk berziarah ke makam KH. Anas Al Ayyubi. Almarhum adalah pemilik pondok pesantren yang telah terendam lumpur panas itu. Lumpur panas juga merendam makam tempat beliau disemayamkan, sehingga para warga mendirikan sebuah bangunan tepat di atas makam beliau agar dapat digunakan oleh murid-muridnya belajar agama.

Perjalanan hari ini telah berakhir. Ada rasa senang, ada pula rasa iba. Senang saat bisa memuaskan penasaran melihat fenomena semburan lumpur. Tetapi karena lumpur itu jugalah masyarakat di desa Siring dan Jatirejo menjadi kesulitan melanjutkan hidup. Mereka hidup terlunta-lunta sekaligus bingung menantikan nasib kejelasan asset-aset mereka yang ditenggelamkan oleh kelalaian tangan manusia.

[caption id="attachment_368184" align="aligncenter" width="300" caption="Prasasti/ Monumen Peringatan Tragedi Lumpur Lapindo"][/caption]

[caption id="attachment_368185" align="aligncenter" width="300" caption="Patung karya warga korban semburan lumpur"]

14328054001870202161

[/caption]

[caption id="attachment_368187" align="aligncenter" width="300" caption="Asap belerang di pusat semburan"]

14328056092128040193

[/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline