Lihat ke Halaman Asli

Tukang Semir Sepatu

Diperbarui: 5 Desember 2021   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah berapa lama aku duduk di bawah pohon. Hanya untuk menunggu dan menawarkan jasaku ini kepada seseorang yang sukarela menemaniku duduk di sini. Memandang jalan yang riuh dengan lalu lalang kendaraan sampai trotoar yang beralih fungsi menjadi jalan pengendara sepeda motor ditemani dengan sang surya yang tiada lelah memancarkan sinarnya. Kalau boleh memilih sebenarnya aku tidak ingin berada di sini, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu kepastian.

" Pagi pak, mari semir sepatu dulu. " ucapku. 

Ya, itulah kalimat yang sering kuucapkan kepada setiap orang yang lewat, berharap agar mereka berhenti dan menyemir sepatunya. Tapi hanya sebuah suara angin yang kudapatkan.  Ya, inilah aku bocah laki-laki tukang semir sepatu yang seharusnya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku rela meninggalkan sekolah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

" Ih masih kecil gak sekolah. "  

"Ohh..tukang semir sepatu, pantesan gak sekolah." 

Itulah kata yang sering aku dengar dari anak-anak yang berangkat atau pulang sekolah. Apalagi yang bisa kukatakan saat mereka berkata seperti selain diam mendengarkannya. Kalimat yang mereka ucapkan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tetapi sangat membekas dihati. Apa mereka tidak berpikir ? Aku juga ingin seperti mereka " ya mereka" yang setiap pagi kulihat selalu menggendong tas, berseragam rapi, dan bersepatu.

 Aku juga ingin punya banyak teman, belajar bersama, mendengarkan penjelasan guru saat mengajar. Entahlah apakah ini akan menjadi sebuah kenyataan atau hanya akan menjadi khayalanku saja. Apa dayaku ini hanya seorang bocah yang berpakaian kumuh, bersandal jepit, dan selalu menggendong kotak kayu berisikan sikat dan semir sepatu ? Aku selalu membayangkan ada seseorang yang ikhlas dan sukarela menyekolahkanku. Ya, inilah isi pikiranku seorang anak yang menjadi tukang semir sepatu dengan penghasilan yang tak menentu. 

Percayalah, aku ini pandai mengatur uang. Aku bisa memecahkan uang sepuluh ribu untuk membeli makanan yang dapat kusimpan selama tiga hari. Sudah terbiasa aku hidup seperti ini.


Kalian pasti bertanya-tanya di mana orang tuaku ? Entahlah aku juga tidak tahu. Apakah mereka tak merindukanku ? Tujuh tahun sudah mereka meninggalkanku. Setiap hari aku selalu berharap muncul sosok mereka yang masih mengenaliku. Mereka menitipkanku kepada nenek. Beliau bilang kedua orang tuaku pergi merantau untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tapi sudah selama ini tidak ada kabar dari mereka. Aku selalu berdoa kepada Allah  agar selalu menjaganya. Jika mereka masih di dunia, aku berharap semoga pulang dan kembali kepadaku. Dan jika mereka telah tiada, aku berharap Allah akan mempertemukan kita di Surga-Nya.

" Nak jangan melamun ini uangnya, kembaliannya buat kamu saja. " ucap Ibu itu. 

Aku tersentak kaget melihat ibu itu mengulurkan uang sepuluh ribu. Tangan ini bergerak mengambil uang itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline