Lihat ke Halaman Asli

puspalmira

A wild mathematician

Jernih dan Hitam Antara Kabut dan Merah Jambu, Part 1

Diperbarui: 19 Januari 2019   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merah jambu. Malam pekat ini berwarna merah jambu. Daku terlelah menghadapi rumitnya malam ini. Terlelah tanpa terengah. Syukur aku bisa menyembunyikannya. Tapi sayang, mereka menatapku terus terdiam, bukan dalam diam.

Aku berpindah dari tempat yang satu itu menuju satu yang lainnya. Masih membisu, aku mulai bergerak meninggalkan keramaian yang sepi. Aku berjalan melewati hutan yang hitam, entah rimbun atau gersang.

Setelah melewati kesunyian hutan, aku sampai di sebuah luasan yang lebih bersahabat. Di sana ada warna. Setidaknya, aku tak lagi sunyi walaupun warna itu terus berubah dari marah, bingung, lelah, gerah, dan sayang.

Aku mengingat lagi apa yang harus aku lakukan. Esok, aku harus berada di tanah lapang untuk melakukan peran yang tak kubayangkan akan singgah di pelataran jati diriku. Aku harus berteriak lantang. Memang, tak banyak yang tahu bahwa aku bisu. Tapi mereka ingin aku berteriak. Aku ragu. Bukan karena ingin menghindar melainkan karena aku ingin ada di tanah lapang itu. Aku ingin melukisnya. Aku ingin melukis teriakan-teriakan itu. Sejauh yang aku mampu, aku yakin aku bisa melenceng sedikit dari barisan dan mulai melukis, masih dengan membisu.

Faktanya, hanya itu satu-satunya yang mendorongku untuk ke sana. Aku tak sabar untuk merekam teriakan itu pada kanvasku. Aku merasa tak ada lagi warna yang lebih indah dari warna teriakan itu.

Namun yang kuhadapi ternyata tak sesederhana itu. Setelah melewati hutan tanpa peradaban, aku bertemu dengan sosok yang sangat menjengkelkan. Dia sosok yang mampu menghancurkan kebisuanku. Setiap telah berurusan dengannya, takkan ada henti aku mencercanya. Semua karena kesal. Malam ini ia kembali membuatku berbolak-balik arah tanpa panduan.

"Aku butuh bantuanmu", katanya.

Hanya dengan itu, arahku sudah menghancurkan kompas di seluruh dunia. Kupikir teriakan dalam kanvas akan menghentikanku. Sayang, dia malah membisu, menggantikan tugas keseharianku.

Aku memikirkan segala peluang dan akibat yang akan muncul di hadapanku. Peran dan kanvasku, atau dia dan kebutuhannya. Malam membentuk kabut yang berwarna-warni, berputar-putar dalam satu pusaran penuh menyisakan ruang untukku dan dirinya. Dia bukan siapa-siapa. Sekilas, kabut berwarna tak waras itu meniupkan bisikan agar aku menemani orang yang bukan siapa-siapa itu. 

Sekilas juga, aku menyetujuinya. Aku pun tak habis pikir walau pikiranku sudah habis sejak sebelum melewati hutan tadi. Yang kutahu, langit tadi masih jernih dan hitam saat kanvasku berbinar penuh harap akan kuisi dengan teriakan-teriakan yang tak kumengerti namun kupahami bahwa itu berharga. Tapi sekarang, langit berkabut berwarna merah jambu saat aku memutuskan.

"Ijinkan aku membantumu". (1 Mei 2014)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline