Perjanjian pranikah sering kali dianggap sebagai tanda ketidakpercayaan antara pasangan. Padahal, pandangan ini justru merupakan hal yang keliru. Perjanjian pranikah sebenarnya adalah langkah bijak untuk menciptakan kejelasan dan transparansi sejak awal pernikahan. Melalui perjanjian ini, pasangan dapat saling memahami hak dan kewajiban masing-masing, termasuk dalam hal pengaturan keuangan, pembagian harta, serta tanggung jawab lain yang mungkin timbul selama pernikahan.
Alih-alih merusak kepercayaan, perjanjian pranikah justru menjadi sarana komunikasi terbuka bagi pasangan. Mereka dapat berdiskusi tentang berbagai aspek yang mungkin menjadi sumber konflik di masa depan. Dengan adanya kesepakatan tertulis, pasangan memiliki pedoman yang jelas dalam menghadapi berbagai situasi yang tidak terduga.
Perjanjian pranikah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Pasal tersebut mengatur bahwa pasangan dapat membuat perjanjian pranikah yang sah selama tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, dan ketertiban umum. Perjanjian ini wajib dibuat secara tertulis dan disahkan oleh notaris.
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian pranikah diatur dalam Pasal 139 - Pasal 154 KUHPerdata. Adapun yang diatur adalah :
- Mengatur tentang asas kebebasan dalam mengatur harta bersama (gemeenschap van goederen) dan pengecualiannya. Pasangan dapat memilih apakah harta akan digabungkan atau tetap dipisahkan. (Pasal 139-141).
- Memberikan kebebasan kepada pasangan untuk menentukan bentuk pengaturan harta yang diinginkan dalam perjanjian pranikah. (Pasal 142).
- Menegaskan bahwa perjanjian pranikah harus dibuat sebelum pernikahan berlangsung dan tidak boleh bertentangan dengan hukum atau kepatutan. (Pasal 143).
- Mengatur hak dan kewajiban suami istri terkait pengelolaan harta bersama, termasuk siapa yang memiliki hak pengelolaan atau penggunaan harta. (Pasal 144-145).
- Menjelaskan bahwa pasangan dapat memilih untuk memisahkan harta, dan dalam hal ini, masing-masing pihak tetap memiliki hak atas harta pribadinya. (Pasal 146).
- Mengatur bagaimana harta pribadi dikelola, termasuk ketentuan tentang hasil dari harta tersebut. (Pasal 147).
- Mengatur tanggung jawab pasangan atas utang, baik utang bersama maupun utang pribadi. (Pasal 148-149).
- Menjelaskan ketentuan tentang perubahan perjanjian pranikah yang dapat dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak. (Pasal 150-152).
- Menegaskan bahwa perjanjian pranikah dapat dibatalkan apabila terbukti melanggar hukum, kepatutan, atau dibuat dengan paksaan. (Pasal 153-154).
Dengan demikian, perjanjian pranikah dapat dibuat dengan tetap memperhatikan aturan hukum yang ada agar sah dimata hukum dan dapat memberikan perlindungan hukum yang kuat. Adapun perjanjian pranikah ini bukanlah tanda ketidakpercayaan, melainkan bentuk tanggung jawab dan komitmen untuk menjaga keutuhan hubungan. Pasangan yang memiliki perjanjian pranikah dapat menghadapi pernikahan dengan lebih percaya diri, karena telah memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi segala tantangan yang mungkin muncul.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI