Lihat ke Halaman Asli

Allysia Salsa

Mahasiswi

Peran Ayah dalam Fisioterapi: Dari Bayang-Bayang ke Garda Depan Rehabilitasi

Diperbarui: 22 Mei 2025   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dalam kultur Asia, termasuk Indonesia, ayah sering kali digambarkan sebagai sosok kuat, tegas, dan lebih banyak berperan di ranah finansial. Soal pengasuhan, terlebih pengasuhan yang melibatkan kegiatan intim dan penuh kesabaran seperti fisioterapi, masih dianggap sebagai tugas ibu. Namun, paradigma ini mulai bergeser.

“Penelitian terakhir menunjukkan bahwa keberhasilan fisioterapi,terutama pada pasien anak dan lansia, sangat ditentukan oleh kualitas keterlibatan keluarga, termasuk figur ayah,” ujar dr. Dina Utami, Sp.KFR.

Sayangnya, keterlibatan ini belum sepenuhnya difasilitasi sistem kesehatan kita. Banyak ruang terapi belum menyediakan pendekatan berbasis keluarga, terutama untuk pria. Ayah yang ingin aktif kadang merasa tidak mendapat tempat atau tidak tahu harus mulai dari mana.

 Tak Hanya Fisik, Tapi Emosi

Dalam fisioterapi anak-anak, misalnya, kehadiran ayah ternyata memberi pengaruh besar dalam dimensi emosional. Anak-anak yang merasa “ditemani ayahnya” cenderung lebih termotivasi dan tidak mudah merasa takut.

“Saya pernah tangani anak dengan cerebral palsy yang awalnya pasif banget. Tapi setelah ayahnya mulai rutin datang dan ikut gerakan sederhana di rumah, respons motoriknya jadi jauh lebih baik. Ada koneksi emosional yang kuat di sana,” tutur Anita Rahma, fisioterapis anak.

Hal serupa berlaku dalam konteks geriatrik. Banyak ayah paruh baya kini menjadi caregiver utama bagi orang tua mereka yang lanjut usia. Namun beban fisik dan emosional itu sering kali mereka tanggung sendiri, tanpa dukungan sosial atau edukasi medis yang memadai.

 Hambatan Struktural dan Sosial Masih Membayangi

Meskipun tren positif ini mulai terlihat, realitasnya keterlibatan ayah dalam proses terapi masih menghadapi banyak tantangan. Selain minimnya ruang dan dukungan bagi ayah untuk berpartisipasi aktif, faktor budaya juga memberi tekanan tak terlihat.

Dalam masyarakat patriarkal, sentuhan lembut, kesabaran, dan aktivitas rawat-merawat masih dianggap bukan kodrat laki-laki. Bahkan, beberapa ayah yang ingin belajar teknik terapi dasar di rumah kerap mendapatkan cibiran atau dianggap ‘terlalu lembut’. Stigma ini membuat banyak dari mereka memilih diam dan mundur pelan-pelan dari ruang perawatan yang seharusnya bisa mereka isi.

Padahal, dari banyak kisah nyata yang muncul, keterlibatan ayah justru dapat menciptakan ruang pemulihan yang lebih utuh: tidak hanya memperbaiki fungsi fisik pasien, tetapi juga memulihkan semangat keluarga secara keseluruhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline