Lihat ke Halaman Asli

Allenta Aga

Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Kasus Nadiem Makarim dan Luka Transparansi Pendidikan

Diperbarui: 14 September 2025   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nadiem Makarim mantan Mendikbudristek dikaitkan dengan kasus pengadaan Chromebook senilai RP9,9 triliun. (Sumber: SORA)

Pendahuluan 

Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menyeret nama Nadiem Makarim benar-benar bikin kaget banyak orang. Sosok yang dulu dikenal dengan gagasan "Merdeka Belajar" dan pernah dipuji karena keberhasilannya membangun Gojek, awalnya dianggap bisa membawa angin segar dalam dunia birokrasi pendidikan. Orangorang berharap dia bisa jadi contoh pejabat muda yang inovatif, transparan, dan berintegritas. Tapi kenyataannya, sekarang namanya malah dikaitkan dengan kasus hukum besar, bahkan sampai ditetapkan sebagai tersangka. 

Menurut saya, peristiwa ini membuka mata kita soal betapa rapuhnya sistem pengadaan barang di negeri ini. Anggaran pendidikan, yang notabene salah satu yang paling besar dalam APBN, seharusnya jadi investasi untuk masa depan anak-anak bangsa. Sayangnya, justru berulang kali anggaran besar itu dipakai tidak sebagaimana mestinya, bahkan jadi celah korupsi. Kasus Chromebook ini menunjukkan kalau proses pengadaan belum sepenuhnya transparan dan masih mudah disalahgunakan oleh oknum tertentu. Laptop Chromebook yang seharusnya mempercepat digitalisasi sekolah justru ditemukan ada praktik markup, manipulasi prosedur, hingga kerugian negara yang sangat besar. Jika semua ini benar, maka visi pendidikan digital hanya dipakai untuk kepentingan sekelompok orang, bukan untuk kepentingan anak-anak bangsa.

Fakta Kasus

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peraturan yang dikeluarkan justru membatasi pilihan. Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang ditandatangani Nadiem hanya memperbolehkan penggunaan Chrome OS. Kebijakan ini dinilai menyalahi sejumlah aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, sehingga menimbulkan potensi kerugian negara hingga mencapai Rp 1,98 triliun. Padahal, uji coba penggunaan Chromebook sudah pernah dilakukan pada 2019 dan hasilnya dinilai gagal, terutama di daerah 3T. Meski begitu, keputusan untuk tetap melanjutkan program ini tetap dijalankan. 

Belakangan, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang tersangka dari internal Kemendikbudristek. Mereka adalah pejabat di direktorat yang mengurusi sekolah dasar dan menengah. Para pejabat tersebut diduga menyalahgunakan kewenangan dengan menyusun aturan teknis yang secara khusus mengarahkan agar Chromebook dipilih sebagai perangkat utama. Padahal, jelas sekali perangkat itu tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah di lapangan. Fakta ini menambah kuat dugaan bahwa pengadaan laptop bukan murni demi kepentingan siswa, melainkan lebih karena dorongan kepentingan bisnis tertentu. 

Selain itu, Kompas melaporkan bahwa jauh sebelum pengadaan resmi dimulai, tepatnya di awal 2020, Nadiem sudah sempat duduk bersama pihak Google Indonesia untuk membicarakan program Google for Education. Dari pertemuan itulah muncul dugaan bahwa rencana penggunaan Chromebook sebenarnya sudah dibicarakan lebih dulu, bahkan sebelum ada proses resmi di kementerian. Padahal, dalam proses pengadaan pemerintah, keputusan seperti ini harus melalui analisis teknis dan pertimbangan kebutuhan sekolah secara luas, bukan hanya hasil lobi dengan vendor. 

Google sendiri akhirnya memberikan pernyataan. Mereka menegaskan bahwa perusahaan hanya menyediakan dukungan teknologi pendidikan dan tidak terlibat dalam proses hukum maupun dugaan korupsi yang terjadi. Google juga menolak dikaitkan dengan proses pengambilan kebijakan yang jelas merupakan ranah pemerintah. Pernyataan ini penting karena menegaskan bahwa masalahnya tidak hanya terletak pada produk, tetapi juga pada cara pengadaannya yang seharusnya jujur dan terbuka. 

Proses hukum masih berjalan. Nadiem sudah diperiksa berjam-jam, bahkan lebih dari 12 jam, untuk menjelaskan peranannya dalam proyek tersebut. Kejaksaan menyatakan masih banyak data yang perlu dikumpulkan karena anggaran yang digunakan mencapai hampir Rp10 triliun, termasuk dana khusus untuk daerah. Dari sini terlihat bahwa kasus ini bukan hanya proyek pengadaan kecil, melainkan program besar yang berdampak luas terhadap jutaan siswa.

Analisis dan Kritik

Tentu saja, kita tidak boleh terburu-buru menghakimi. Status tersangka tidak berarti telah dihukum. Namun, sekaligus masyarakat berhak mempertanyakan bagaimana kebijakan yang sebelumnya dianggap "belum efektif" bisa dipaksakan melalui mekanisme yang tidak terbuka. Dari sini terlihat betapa masih buruknya budaya birokrasi kita, keputusan besar sering kali diambil tanpa partisipasi masyarakat, tanpa evaluasi menyeluruh, dan akhirnya menimbulkan skandal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline