Teh yang Menyapa, Antara Keakraban Daun dan Kesepian Kemasan
[malam ini kami ada kumpulan RT. Kepada kami disuguhkan teh panas hasil seduhan teh tubruk, tapi bukan teh instan siap saji. Saya membayangkan keluarga yang ketempatan menyediakan teh dengan penuh rasa persaudaraan bagi bapak-bapak yang ikut pertemuan RT. Ada keakraban yang terjalin melalui teh meski pertemuannya di Balai RT. Menunggu tehnya hangat untuk diminum sudah suatu seni karena di sana ada interaksi sosial, bincang-bincang di antara bapak-bapak. Minumnya bertahap sampai tehnya benar-benar dingin. Tentu ini beda jika yang disuguhkan adalah teh kemasan siap saji, yang sekali disedot langsung habis]
***
Ada perbedaan mendasar antara secangkir teh yang diseduh dengan niat, dan teh kemasan siap saji yang dituang begitu saja. Perbedaannya bukan hanya pada rasa (meski itu nyata) tapi pada jiwa yang terkandung di dalamnya. Yang satu adalah undangan untuk hadir, yang lain adalah sekadar pengisi waktu.
Dalam tradisi menyambut tamu di banyak budaya Nusantara, teh bukan pelengkap, ia adalah bahasa. Bahasa keramahan, penghormatan, dan keterbukaan hati. Ketika seorang ibu di Toraja menyeduh teh hitam pekat dari daun pilihan, lalu menyuguhkannya di atas nampan kayu bersama kue beras ketan, ia tak hanya menawarkan minuman. Ia berkata, "Aku meluangkan waktu untukmu." Prosesnya sengaja diperlambat: air dipanaskan perlahan, daun direndam dengan sabar, cangkir dibersihkan dengan teliti. Di sanalah terjadi ritual kehadiran bukan hanya fisik, tapi emosional.
Psikologi di balik teh tradisional ini sangat dalam. Ia membangun shared presence, kehadiran bersama yang menenangkan. Aroma daun yang mengembang perlahan, suara air mendidih, bahkan waktu yang dibutuhkan untuk menunggu teh siap, semuanya menciptakan ruang psikologis yang aman. Dalam ruang itu, percakapan mengalir alami, tanpa terburu-buru. Tamu merasa dihargai, bukan sekadar "dilayani". Ini adalah bentuk slow hospitality, keramahan yang tak tergesa, yang lahir dari kesadaran bahwa kehadiran seseorang adalah anugerah.
Sebaliknya, teh kemasan siap saji (meski praktis dan konsisten) sering kali hadir tanpa jiwa. Cukup sobek, tuang, aduk, dan minum. Tak ada proses, tak ada penantian, tak ada sentuhan tangan. Ia efisien, tapi steril. Dalam konteks menjamu tamu, teh kemasan bisa terasa seperti pintu yang setengah terbuka: ramah, tapi tak benar-benar mengundang masuk. Ia mengisyaratkan bahwa waktu lebih berharga daripada kehadiran bahwa kita lebih memilih kecepatan daripada kedalaman.
Tentu, tidak semua teh kemasan buruk. Di tengah kesibukan modern, ia menjadi solusi. Tapi ketika ia menggantikan seluruh tradisi menyeduh teh, ketika kita lupa bagaimana rasanya menunggu, merawat, dan memberi perhatian penuh, maka kita kehilangan sesuatu yang esensial: koneksi manusiawi.
Teh tradisional mengajarkan kita tentang kehadiran yang disengaja. Ia mengingatkan bahwa merawat hubungan butuh waktu, ketelitian, dan niat tulus. Sedangkan teh instan, dalam segala kenyamanannya, sering kali mencerminkan budaya yang semakin terbiasa dengan permukaan cepat, rapi, tapi dangkal.
Pernahkah kita membayangkan hal ini terjadi, atau kita sendiri adalah pelakunya?
Pertama, seorang kakek di Yogyakarta (atau di manapun di Indonesia) menyeduh teh dari daun yang dipetik sendiri di kebun belakang, lalu menawarkannya pada cucunya yang pulang dari kota. Mereka duduk berdua dalam diam yang nyaman, hanya ditemani suara jangkrik dan uap teh yang perlahan menguap.
Kedua, seorang eksekutif muda menyodorkan teh kemasan rasa melati pada rekan bisnisnya di ruang meeting, sambil melihat jam tangan dan memikirkan agenda berikutnya.