Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Kopi Tumbuk, Kopi Sachet, dan Jiwa Masyarakat Modern

Diperbarui: 7 Oktober 2025   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Kopi Tumbuk, Kopi Sachet, dan Jiwa Masyarakat Modern

Di kampung kecil di bawah kaki Gunung Ebulobo, seorang lelaki tua menumbuk biji kopi dengan lesung kayu, gerakannya pelan, hampir ritualistik. Kopi tumbuk ini selalu punya sensasi kala minum. Ada bau gosong, namun ada kenangan karena saat menggoreng ada diskusi di sekitar tungku yang menghangatkan, ada kisah kehidupan seputar kopi sampai ia berubah wujud dalam gelas. 

Di sisi lain kota kabupaten tak jauh dari kaki gunung, seorang mahasiswa muda menyobek sachet (kopi instan, bukan kopi hitam asli) berlogo neon, menuangkan isinya ke cangkir plastik, lalu menyesapnya sambil scroll media sosial. Ia tidak mengenal asal usul kopi itu. Ia tidak tahu perjuangan di balik sachet yang nampak praktis dan ekonomis. 

Keduanya (di tempat berbeda) minum kopi, tapi mereka hidup dalam dunia yang berbeda. Bukan hanya soal rasa, melainkan soal cara mereka berada di dunia: satu hadir penuh, yang lain hadir separuh. Kopi tumbuk tradisional selalu ada kisah "berdarah" yang dialami langsung oleh mereka yang berada seputar proses kopi itu menjadi. Kopi yang demikian menjadi jiwa dari masyarakat tradisional. 

Lalu apakah kopi sachet menjadi jiwa masyarakat modern? Belum tentu juga sih!

Baik kopi hitam tumbuk ala kampung maupun kopi hitam sachet, yang kini mulai banyak diproduksi oleh UMKM lokal dengan isi 100% bubuk kopi asli, tanpa gula, tanpa perisa, memang sama-sama berbentuk “kopi siap seduh”. Namun di balik kemiripan fungsional itu, keduanya menyimpan roh sosial yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Bagi masyarakat kampung seperti di masa kecilku di kaki Gunung Ebulobo, kopi tumbuk bukan hanya minuman, melainkan medium pertemuan. Prosesnya terbuka: siapa saja bisa melihat, mendekat, dan ikut serta. Tetangga yang lewat bisa berhenti sejenak, duduk di atas balok kayu dekat tungku, lalu bilang, “Nona, lagi tumbuk kopi? Boleh minta segelas?”

Tak jarang, mereka pulang membawa segenggam bubuk kopi dalam daun pisang, bukan karena membeli, tapi karena diberi. Bahkan, sebelum membawa pulang, mereka diajak dulu duduk, minum bersama, dan mendengar cerita: tentang panen yang gagal, anak yang lulus sekolah, atau gosip kecil yang justru mempererat ikatan. Kopi tumbuk lahir dari relasi, dan ia pun memperbanyak relasi.

Sementara itu, kopi hitam sachet (meski isinya mungkin 100% kopi asli dari Gayo, Toraja, atau Flores) lahir dalam ruang yang tertutup: pabrik, mesin pengemas, gudang distribusi. Ketika kita membelinya di warung atau minimarket, kita tak pernah menyaksikan wajah petaninya, tak pernah mendengar suara mesin giling tradisional, apalagi merasakan hangatnya obrolan di sekitar tungku.

Proses sosialnya telah terfragmentasi, bahkan terhapus. Sachet hadir sebagai objek mati yang siap dikonsumsi, bukan sebagai undangan untuk berbagi. Meski kini banyak pelaku UMKM berusaha mengembalikan “jiwa” itu lewat kemasan yang transparan atau cerita di label, jarak sosial antara produsen dan konsumen tetap nyata, dan seringkali tak terjembatani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline