Jejak yang Tak Bisa Dihapus dan Tanggung Jawab Filosofis di Balik Setiap Kata
Di era digital, setiap ucapan pejabat publik bukan lagi angin lalu yang menguap begitu saja setelah pidato selesai. Ia berubah menjadi jejak digital, rekaman permanen yang bisa diulang, dipotong, dianalisis, disebarkan, bahkan dijadikan senjata politik atau alat penghancur reputasi. Sebuah pernyataan yang diucapkan dalam hitungan detik di sebuah forum informal kini bisa menjadi viral dalam hitungan menit, mengguncang kepercayaan publik, memicu demonstrasi, atau menghancurkan karier politik yang dibangun puluhan tahun. Dalam konteks ini, public speaking bukan lagi sekadar keterampilan retoris, melainkan bentuk tanggung jawab eksistensial yang mendalam.
Jejak Digital sebagai Arsip Moral
Jejak digital (dalam bentuk video, rekaman audio, cuplikan teks, atau tangkapan layar) tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga menyimpan makna moral. Ia menjadi arsip yang mengunci pejabat pada kata-katanya sendiri. Tidak seperti era pra-digital, di mana lupa atau penyangkalan masih mungkin, kini setiap ucapan bisa dikonfirmasi kapan saja oleh siapa saja. Ini menciptakan kondisi baru dalam etika berbicara: kata-kata tidak lagi bisa ditarik kembali, maka harus dipikirkan sebelum diucapkan. Sekalipun sudah ada permohonan maaf dan omongan,"dengan ini kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan, saya tarik kembali." Tarik kembali sudah tidak punya makna lagi, karena lawan bicara (rakyat kecil) terlanjur luka hati.
Filsuf Prancis Paul Ricoeur pernah menyatakan bahwa tindakan berbicara adalah tindakan yang mengikat diri pada dunia. Dalam karyanya Oneself as Another, Ricoeur menekankan bahwa ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga menempatkan dirinya dalam relasi etis dengan orang lain. Kata-kata adalah komitmen terhadap kebenaran, kejujuran, dan pengakuan terhadap martabat pendengar. Di era digital, komitmen ini menjadi permanen. Jejak digital adalah bukti material dari komitmen (atau pengkhianatan) terhadap nilai-nilai tersebut.
Ketika seorang pejabat mengatakan, "Rakyat jelata memang begitu," atau "Kalau tidak suka, silakan kabur," ia tidak hanya mengucapkan kalimat. Ia sedang menulis narasi tentang siapa dirinya sebagai pemimpin, narasi yang akan terus hidup dalam arsip digital, terlepas dari seberapa banyak ia mencoba meminta maaf atau mengklarifikasi. Publik tidak hanya mendengar kata-katanya; mereka melihat wajah moral di baliknya.
Filsafat Kata: Antara Logos, Ethos, dan Tanggung Jawab Digital
Retorika Aristoteles, yang membagi seni berbicara menjadi logos (logika), pathos (emosi), dan ethos (kredibilitas) masih relevan, tetapi kini beroperasi dalam medan yang jauh lebih kompleks. Di era digital, ethos tidak lagi dibangun hanya melalui kesan langsung di podium, melainkan melalui konsistensi antara ucapan, tindakan, dan jejak digital masa lalu. Seorang pejabat bisa saja berpidato dengan data akurat (logos) dan intonasi penuh empati (pathos), tetapi jika jejak digital menunjukkan pola ucapan yang merendahkan atau inkonsisten, ethos-nya akan runtuh.
Lebih jauh, filsuf Jerman Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method menekankan bahwa pemahaman selalu terjadi dalam konteks historis. Artinya, setiap ucapan pejabat tidak hanya dipahami dalam konteks saat diucapkan, tetapi juga dalam konteks seluruh riwayat ucapannya sebelumnya, yang kini tersedia lengkap di internet. Publik tidak lagi menilai satu pidato secara terpisah, melainkan sebagai bagian dari narasi yang utuh. Dalam kerangka ini, public speaking menjadi bentuk hermeneutika publik: pejabat tidak hanya berbicara, tetapi juga menafsirkan dirinya sendiri melalui kata-kata, dan publik menafsirkan kembali kata-kata itu dalam cahaya jejak digital yang tak terhapus.
Tanggung Jawab Eksistensial: Berbicara sebagai Tindakan Etis
Jean-Paul Sartre, dalam eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia "dikutuk untuk bebas", setiap pilihan membawa tanggung jawab penuh. Dalam konteks public speaking di era digital, kebebasan berbicara datang dengan tanggung jawab yang tak bisa dihindari. Ketika seorang pejabat berbicara, ia tidak hanya memilih kata, tetapi juga memilih identitas moralnya. Dan karena jejak digital bersifat permanen, pilihan itu menjadi bagian dari sejarah publiknya, sejarah yang akan terus dibaca, dikutip, dan dinilai oleh generasi mendatang.
Inilah yang membedakan public speaking pejabat di era digital dari masa lalu: ia bukan lagi tindakan sesaat, melainkan tindakan yang mengikat diri pada waktu. Setiap kata adalah batu bata dalam monumen reputasi, bisa menjadi tugu kebijaksanaan, atau nisan kecerobohan.
Implikasi Praktis: Dari Pelatihan hingga Etika Digital
Dalam kondisi ini, pelatihan public speaking untuk pejabat tidak cukup hanya fokus pada teknik vokal, gestur, atau struktur pidato. Harus ada lapisan baru: etika digital. Pejabat perlu dilatih untuk:
Pertama, Berbicara dengan kesadaran arsip: memahami bahwa setiap kata bisa menjadi bagian dari catatan sejarah. Oleh karena itu, kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita ucapkan dan sadar bahwa jejak digital kita dapat mempengaruhi citra dan reputasi di masa depan.