Lihat ke Halaman Asli

Politik Pangan Indonesia: Renungan Hari Pangan Dunia

Diperbarui: 11 Agustus 2016   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi seluruh rakyat Indonesia. Pangan berperan penting dalam membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Permasalahan akan pangan akan berpengaruh pada penurunan kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya berdampak terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Kebijakan pembangunan pangan di Indonesia, sebagaimana hampir seluruh negara di dunia, mengikuti konsep ketahanan pangan (food insecurity). Hal ini tercermin dari kebijakan yang telah diterbitkan, salah satunya dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Dalam UU tersebut, ideologi ketahanan pangan mewarnai hampir seluruh isi undang-undang. Hal yang terus disinggung dalam UU tersebut adalah aspek pemenuhan dan kecukupan bahan pangan bagi masyarakat. UU tersebut tidak mempersoalkan bagaimana bahan pangan itu didapat dan dengan cara apa, termasuk impor besar-besaran sekalipun. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor. 

Jika kita menilik sejarah lahirnya UU ini. Perlu dicermati bahwa setting waktu kelahiran UU Pangan saat itu berdekatan dengan World Food Summit(WFS) 1996 yang diselenggarakan oleh FAO. Dimana salah satu resolusi yang dikeluarkan (resolusi No.176/1996) antara lain berisi komitmen untuk mengimplementasikan suatu konsep food security sebagai suatu upaya untuk mengatasi bahaya kelaparan yang menimpa dunia. Oleh karenanya, wajar jika dalam UU Pangan, food securitylebih dominan sebagai “spirit” penyusunan UU, dibandingkan konsep kedaulatan pangan. Gambaran yang disajikan dalam tabel diatas menunjukan bahwa semakin lama negara kita semakin masuk kedalam jebakan pangan (food trap) yang indikator utamanya adalah tingkat ketergantungan kita pada produk luar. Jebakan ini salah satunya dipicu oleh ‘harga murah’ dari produk-produk impor sehingga volume impor pangan kita dari tahun ke tahun semakin membengkak.

Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan (Kompas, 24 Agustus 2009). Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.  Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar). Harga komoditas pangan impor dari negara-negara tersebut murah akibat subsidi yang besar yang terkait dengan subsidi ekspor. Ketergantungan terhadap impor juga terlihat pada komoditas beras. Data yang ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan menyebutkan impor beras tahun 2001 mencapai 1,5 juta ton, sementara tahun 1997 hanya 349.000 ton. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kedelai. Impor kedelai yang tahun 1997 sebesar 868.000 ton meningkat menjadi 921.000 ton tahun 2000 dan 1,3 juta ton tahun 2002. Demikian pula untuk gula, gandum, daging sapi, dan unggas.

Dalam kurun waktu 2005–2008, produksi beberapa komoditas pangan kita memang mengalami peningkatan yang signifikan (RPJMN, 2009). Akan tetapi, keadaan seperti ini tidak bisa dijadikan jaminan bahwa kita akan aman-aman saja dengan ancaman krisis pangan, kelaparan dan kekurangan gizi. Ancaman krisis pagan, kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai saat ini belum bisa terselesaikan oleh negara. Beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan ditemukannya satu desa dimana penduduknya menderita ‘cacat mental’. Belum lagi kasus-kasus lain, seperti gizi buruk dan busung lapar yang melanda beberapa daerah di Indonesia.

Negara kita berada dalam status rawan pangan bukan karena tidak adanya pangan, akan tetapi lebih disebabkan pada pemenuhan pangannya bergantung pada pihak lain. Meskipun dari aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terlalu bermasalah, akan tetapi dalam jangka panjang tentu akan sangat mebahayakan kelangsungan hidup ratusan juta rakyat Indonesia. Saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi di tingkat internasional, maka secara otomatis kita pun langsung terkena dampaknya. Komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional diantaranya: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng (SPI, 2008).


Kerjasama regional AC-FTA dan AANZ-FTA

Melalui ASEAN, Indonesia menjadi negara paling aktif mempelopori suksesnya agenda perdagangan bebas melalui FTA antara ASEAN dengan negara-negara maju seperti China, Korea, Jepang, Australia dll. Salah satu yang paling maju adalah kesepakatan perdagangan bebas antara ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru (AANZ-FTA). Menurut keterangan Departemen Perdagangan (Depdag), AANZ-FTA telah ditandatangani pada 27 Februari 2009 di Hua Hin Thailand. Perjanjian ini adalah yang paling komprehensif meliputi perdagangan barang dan jasa, investasi, ROO, Costums, SPS, TBT, safeguard, HAKI, kebijakan persaingan, MNP, kerja sama ekonomi, DSM dan e-commerce. Isi perjanjian mencapai 5.000 halaman yang terdiri dari 18 bab, 202 pasal dan 4 lampiran.

Berlandaskan situasi ekonomi saat ini, AANZ FTA sarat dengan kepentingan ekonomi Australia dan sekutunya Selandia Baru dalam meningkatkan dominasi ekonominya di kawasan ASEAN khususnya Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar di kawasan ini. Penghapusan bea masuk dan tarif, sebagian besar berhubungan dengan produk-produk pangan Australia yang sejak awal menjadi komoditas andalan Negara Kanguru tersebut dan mengalami surplus atas Indonesia. Sementara Indonesia masih sangat tergantung pada impor daging, jeroan, susu karena lemahnya kemampuan produksi dalam negeri. Sehingga dapat diduga bahwa penghapusan tarif hanya akan menghasilkan akses pasar yang lebih luas bagi produk pangan Australia dan Selandia Baru di Indonesia khususnya daging sapi dan susu.

Jauh sebelum AANZ-FTA ditandatangani, Australia dan Selandia Baru adalah negara pemasok daging sapi dan susu terbesar ke Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi hidup Australia, sepanjang 2008 sebanyak 651.196 ekor atau 75 persen dari total 869.545 ekor sapi hidup yang diekspor dari Australia ke pasar dunia. Impor sepanjang 2008 itu naik 26 persen dari impor 2007 yang mencapai 516.992 ekor. Total nilai impor Indonesia itu mencapai Aus$ 419 juta. Sementara dari total 556.000 ton produksi susu olahan 2008 (1,79 juta ton setara susu segar) dengan produk olahannya, yaitu susu bubuk, susu kental manis dan susu cair (UHT/pasteurisasi/strerilisasi), sebanyak 70 persen bahan bakunya dipasok impor dan sebagian besar dari Selandia Baru .

Masalah dan Tantangan Pangan Nasional

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline