Lihat ke Halaman Asli

Angga Usfal

Penyuka Sastra

Lelaki Tua di Persimpangan, Ketika Wajahmu Menyanderaku!

Diperbarui: 22 Mei 2019   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lelaki tua di persimpangan...
Ia masih di situ. Duduk beralas kegetiran dan berpayung kemelaratan. Entah sampai kapan. Sesekali ia tertunduk mendengar angin yang membisikan kata-kata kematian. Ia berada di penghujung senja, dan malam mulai menampakan wajahnya berusaha memeluk dan membawanya ke tempat tidur penistaan. Ia sekarat, kelaparan di antara orang-orang berpunya. Ia miskin di kota yang hidup dan kaya. Akankah ia terus seperti itu? orang-orang yang menari di sekitarnya pun enggan peduli.

Lelaki tua di persimpangan...
Kini menjadi tawanan kesengsaraan. Makanannya sebongkah roti pahit kesepian dan segelas anggur masam kemalangan. Ia berontak, berusaha melepaskan diri dari penjara yang menelan habis sisa-sisa kebahagiaan dalam tubuh rentanya. Sayang, penderitaan yang kejam lebih kuat mencengkeram dengan cakar yang tajam. Ia bahkan tak diberi kesempatan sekadar menghirup udara segar kemuliaan. Ah, hidup telah menghisap habis madu yang manis dari tubuh rentanya.

Lelaki tua di persimpangan...
Ia tak ingin beranjak dari situ. Matahari kepedihan mulai menyengat kulit keriputnya yang mulai dijamah usia. Ia masih sendiri berteman piring tua yang kumal seperti dirinya. Sesekali ia terbang jauh, hilang dari dirinya dan masuk ke dalam realitas tak bernyawa. Kosong. Seperti tubuhnya yang tak berisi. Di sana, ia menuntut keadilan terhadap semesta yang telah melemparkan dia ke neraka dunia. Ia kembali tersadar kala tangan-tangan malaekat singgah di piring tuanya. Mata sayunya melirik ke dalam piring itu berharap menemukan secercah sinar kehidupan di sana. Namun ia tersenyum kecut. Ah, koin-koin kecil itu hanya memperpanjang sejarah hidupnya yang kelam.

Lelaki tua di persimpangan...
Ia tak tahu ke mana harus melangkah. Kakinya hanya mengenal jalan-jalan bertabur bara dan ke sanalah dirinya dituntun. Ia terlahir dari jeritan, merangkak dalam tangisan berjalan dalam kepedihan dan berlari dalam keperihan. Ia lupa akan kenyamanan surga. Baginya, hidup adalah kematian yang paling mengerikan. Oh,,, khalik...

Lelaki tua di persimpangan...
Ia masih di situ. Terperangkap dalam tahanan derita. Kematian mungkin menjadi sahabat yang paling dirindukan saat itu. Kematian memberi kesempatan untuk menikmati surga. Itulah impian terbesar dalam kesendiriannya... Datanglah oh Khalik... bawalah terbang bersama-Mu jiwa yang kini terkungkung dalam pelukan neraka dunia....

Lelaki tua... ketika wajahmu menyanderaku siang itu...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline