Ada yang menyesak di dada setelah peluit panjang dibunyikan. Indonesia harus menelan kekalahan dari Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia. Kita semua tahu, ini bukan sekadar kalah di atas lapangan. Ada sesuatu yang terasa janggal. Entah dari strategi, pergantian pelatih, atau aroma lobi-lobi yang mulai tercium sejak awal.
Sepak bola bagi bangsa ini bukan cuma olahraga. Ia sudah menjadi urat nadi kebanggaan nasional. Maka wajar jika publik bergejolak. Rasa kecewa yang meledak di media sosial bukan semata reaksi emosional, tapi bentuk cinta yang dalam terhadap tim merah putih.
Disiplin yang Mulai Pudar
Kekalahan ini menyingkap satu hal yang barangkali lebih penting daripada sekadar skor: disiplin. Sebagai bangsa, kita kerap jatuh bukan karena kurang bakat, tapi karena kurang disiplin. Dalam sepak bola, disiplin bukan hanya soal latihan keras atau menjaga pola makan. Ia soal komitmen, mental, dan kesetiaan terhadap visi jangka panjang.
Pelatih sebelumnya sudah membangun fondasi itu --- tim yang disiplin, taktis, dan punya karakter kuat. Tapi entah kenapa, keputusan politik lagi-lagi masuk ke lapangan. Pergantian pelatih yang mendadak justru merusak ritme dan psikologi pemain. Ini bukan sekadar soal teknis, melainkan soal arah pembinaan jangka panjang yang diganggu oleh kepentingan di balik layar.
Ketika Sepak Bola Dipolitisir
Sepak bola kita seringkali tidak bersih dari campur tangan kekuasaan. Setiap kali tim mulai menunjukkan hasil, tiba-tiba ada intervensi. Setiap kali pelatih mulai menemukan formula, muncul "tekanan" dari pihak-pihak yang menganggap sepak bola sebagai alat citra, bukan ruang prestasi.
Apakah ini berlebihan? Tidak juga. Sejarah kita sudah mencatat banyak contoh bagaimana keputusan non-teknis merusak proses panjang pembinaan. Dari liga yang diacak-acak, sampai pemain yang tiba-tiba dicoret karena alasan di luar performa. Kini, setelah kekalahan ini, publik kembali bertanya: siapa sebenarnya yang mengatur arah sepak bola kita?
Rapuhnya Mental
Kekalahan ini, jika mau jujur, juga cermin dari kita semua. Bangsa yang kadang mudah patah semangat, cepat menyerah, dan lebih suka mencari kambing hitam ketimbang membangun dari dalam.
Mental sosial kita rapuh. Kita senang berteriak "semangat juang!" tapi tak betah dalam proses panjang yang membutuhkan disiplin tinggi.
Padahal, sepak bola adalah miniatur kehidupan. Ia menuntut kesabaran, kerja keras, dan kesetiaan terhadap proses. Jika kita ingin timnas kuat, maka mental sosial kita juga harus kuat. Disiplin bukan hanya urusan pelatih dan pemain, tapi budaya yang seharusnya tumbuh dari setiap rumah, sekolah, dan kantor di negeri ini.
Catatan untuk Federasi
Federasi perlu berhenti bermain-main dengan harapan rakyat. Pelatih yang terbukti punya sistem, karakter, dan hasil seharusnya diberi ruang untuk bekerja lebih lama --- bukan diganti karena tekanan politik atau selera pejabat. Kita butuh pelatih dengan disiplin tinggi, karakter keras, dan keberanian melawan sistem yang bobrok.