Lihat ke Halaman Asli

Albar Rahman

Editor, Writer and Founder of Books For Santri (Khujjatul Islam Boarding School)

Sebuah Krisis Budaya Baca dan Ringkihnya Penulis

Diperbarui: 12 Agustus 2023   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kmjurnalistik.com

Proses membaca sebagai proses budaya adalah istilah paling asyik agar menjadikan kegiatan literasi ini bagian dari hidup bahkan di denyut sosial masyarakat kita. Selama ini membaca dianggap sebagai sebuah kegiatan membosankan dan bukan bagian dari kesaharian karena dianggap sesuatu yang berat, tidak menyenangkan dan hal lainnya jadi paradigma tersendiri jika berkenaan dengan membaca dan prahara buku. 

Sebuah data mencengangkan, bahwa Indonesia belakangan tepat tahun 2022 ini data yang penulis dapatkan dari ISBN PerpusNas dalam data statistiknya menampilkan diangram bahwa tahun ini buku yang terbit kurang dari 80 ribu judul buku. Padahal di tahun sebelumnya paling kurang 100 ribu hingga 140 ribu judul. 

Namun naasnya selalu mengalami pengungarangan dari lima tahun belakanagn hingga kini kurang dari 100 ribu judul yang terbit. Jika dibandingkan dengan India 10 tahun lalu mereka sudah berhasil menerbitkan buku hampir 100 ribu judul di kisaran tahun 2012 dan 2013.  Entahlah ini sebuah tragedi untuk negeri kita atau apapun sebutannya penulis serahkan pada pembaca.

Dari himpunan data di atas penulis ingin mengajak pada semua bahwa saat ini kita mengalami krisis budaya membaca bahkan ringkihnya jari-jari penulis untuk menulis lagi. Dengan jumlah penduduk 280 juta jiwa dan hampi 70% memiliki bonus demografi pemuda. Mustahil jika negri ini kekurangan penulis. 

Hasil pengamatan panjang penulis, ini dikarenakan ekosistem kitalah yang masih jauh dari sebuah pross pembudayaan pada membaca atau aspek literasi yang selalu saja dianggap penting sekalgius tidak penting di negri ini. Berapa banyak penulis di kita yang harus menjual bukunya sendiri dan tertaih karena praktik buku copyan di mana-mana alias bajakan. 

Belum lagi kebijakan pemerintah yang terasa masih belum berpihak pada penulis. Lain hal lagi jika harus membicarakan apresiasi atau dukungan pada penulis. Semua masih mengawang. 

Bagaimana budaya membaca akan tumbuh sedang penulis saja tidak dihargai sedemikian rupa. Bahkan justru "membunuh" penulis itu secara perlahan. Penulis akhirnya harus ringkih bahkan untuk memulai menulis lagi. 

Dengan krisis yang ada ini haruskah penulis patah arang? Tentu tidak, penulis harus berani mulai lagi. Beranilah menulis terus disaban harinya apapun platform yang disediakan. Teruskan saja gores pena hingga peradaban negri ini maju karenanya. Iya tentu benar adanya. Peradaban sebuah negara itu maju karena budaya tulisan dan budaya membacanya kuat. 

Jangan salah. Mengapa Tingkok hari ini maju. Tahun 2013 tepat hampir 20 tahun silam mereka sudah memproduksi 440 ribu judul buku. Jangan tanyakan tahun ini berapa judul. 

Bandingkan dengan Indonesia tahun ini ini hampir 5 kali lipat  bukan kita kalah dengan Tiongkok di dua kali dasawarsa lalu. Hari ini Tiongkok maju karena majunya perdaban dan budaya menulis mereka sejak lama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline