Lihat ke Halaman Asli

Albar Rahman

Editor, Writer and Founder of Books For Santri (Khujjatul Islam Boarding School)

Setangkai Bunga Kering

Diperbarui: 30 Oktober 2022   23:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

my fiksiens ilustration

Terik siang itu menyajikan dahaga. Rumput pun enggan tertiup sepoinya angin, aku menatap sipit langit cerah entah dia berawan mendung namun seketika ia kembali memancar panas. Hiruk pikuk ramai kota siang itu memberiku banyak arti bahwa tangkai bunga harus berdamai. Benar sekali! berdamai pada lajunya kota bersama terik cuaca yang tak tentu ditambah polusi jadi konsumsinya saban hari. 

Dari gedung megah bersama awan dan cuaca yang tak tentu itu terdengar kabar bahwa hanya ada setangkai bunga dan foto diri sang Wisudawan. Dia pergi ke kehariban Ilahi namun seremonial prihal kelulusannya berlangung bersama belasungkawa hanya ada setangakai bunga dan foto diri sekali lagi. 

Kabar belasungkawa berlangsung datang lagi dari sudut riuh ribuawan wisudawan siang itu. Sang ibu harus pergi dimalam hari ke kehariban Ilahi sehari atau semalam sebelum serimonial kelulusan sang anak. Setelah sematan gelar itu didaptakan sang anak harus tanggalkan uforia kebahagiannya jadi duka mendalam. Jenazah sang ibu harus dituntaskannya. Dari sudut kota Jogja di tengah megah gedung itu ia berlari lalu bergegas dengan pesawat terbang membawakan jenazah itu ke daerahnya. 

Sekian kabar belasungkawa hari ini. Biarlah cerita ini jadi tutran duka untuk kita menghargai bahwa satu sama lain berharga khusus untuk anak dan sang ibu, bunda, ayah mapun sang bapak. 

Keesokan siang harinya. Kota itu bertutur lagi dengan hiruk pikuknya tentang kisah akhir pekan yang macet dan acara serimonial kelulusan wisudawan. Kali ini membuatku tertegun lirih ringkih lalu menyesali sebuah peristiwa di hadapan ketika mata menyaksikan peristiwa tak dikehendaki itu.

Bersama mendung dan sekita panas terlihat satu sosok ayah lesuh letih didepan gedung megah seusai beberapa jam berlangsung serimonial kelulusan siang itu. Sang anak sibuk beruforia dan berfoto-foto dengan kawan atau entahlah sahabatnya bahkan mungkin teman barunya yang dijumpainya di caffe dan tempat lainnya. 

Sang ayah menunggu diteriki matahari bersama setangkai bunga kering yang digenggamnya. Hati sangat miris melihat itu sesampai ilustrasi fiksi ini dituliskan. 

"Owh baru saja kau langsungkan kegembiraan pencapaian awal sebagai manusia bergelar di dunia. Terkadang hal setangaki bunga kering digenggam oleh sang ayah dianggapnya sepele. Riuh mu itu sejatinya dari perasan keringat sang ayah berpuluh tahun lamanya. Aku tak ingin menghakimi langsung apatah lagi menyekapmu sebagai fakata cukup jadi fiksi hanya sebuah renungan dan refleksi diri. Betapa sang ayah dengan setangkai bunga kering digenggamannya tepat di depan gedung mewah tempatmu kuliah ia terpapar terik dan polusi jalanan. Selamat untuk sepelenya empatimu kawan. Dan itu pada ayahmu sendiri."  Lirihku.

Semoga masih banyak hati-hati yang menjaga dan mengahargai keringat sang ayah dari hal paling kecil atau terlihat "sepele". Semoga!

Salam dari sudut kota di dinding malam bersama cuaca sejuk.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline