Lihat ke Halaman Asli

Taufik Alamsyah

Buruh Kognitif

Politik Media Sosial

Diperbarui: 26 Januari 2024   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://unair.ac.id/

Perkembangan teknologi dan informasi membawa sebuah perubahan dalam kehidupan masyarakat sosial. Lahirnya pelbagai macam fitur dan aplikasi media sosial menjadikan pola perilaku dan habitat masyarakat mengalami pergeseran baik secara budaya, etika, dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Dari pelbagai macam kalangan, usia, dan hampir sebagian masyarakat Indonesia mempunyai media sosial seperti instagram, twitter, facebook, blog, tiktok, dan sebagainya,

Arus deras penerimaan informasi di kanal linimasa media sosial dapat memengaruhi perubahan sosial dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial dan segala bentuk perubahan-perubahan pada Lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosial, termasuk didukungnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Jurnal Publiciana, Anang Sugeng Cahyono, 2016). Pola penyebaran pesan yang cenderung bebas memiliki maksud agar segera diketahui publik menjadi tujuan dari para pengguna media sosial.

Salah satunya adalah politik. Dalam konteks politik misalnya, ada semacam perubahan pola intelektual atau komunikasi publik dalam melihat, merasakan, menilai, dan mengkritisi realitas politik. Pemerintahan yang sedang berkuasa maupun yang menjadi 0posisi, beramai-ramai terjun dalam arena algoritmik untuk menarik perhatian publik, sehingga publik dapat mengikuti apa yang sedang terjadi dalam dinamika politik kenegaraan yang dapat memengaruhi kehidupan kebangsaan seperti isu kenaikan minyak, harga sembako, dan tarif transportasi publik. Pola komunikasi masyarakat terhadap kebijakan dan keputusan pemerintah langsung dapat dikritisi dan diperdebatkan oleh netizen (masyarakat media sosial). Perdebatan politik berpindah dari jurnal ilmiah, tulisan di media cetak ke arah media sosial.

Era digitalisasi media sosial dapat mengubah pola perilaku aktivisme komunikasi penyebaran pesan yang cenderung bebas dan memiliki maksud serta tujuan. Maka, tidak menjadi persoalan apakah informasi yang disebutkan ini akurat sesuai prinsip pemberitahuan yang baik dan benar. Kecepatan pesan tanpa sumber yang dapat dipercaya dan sesuai data serta fakta cenderung berdampak buruk terhadap dinamika kehidupan politik bernegara. Pew Research Center memaparkan dalam penelitiannya tentang, Media Baru Amerika Serikat, bahwasanya, konsumsi berita online masyarakat tajam. Responden pada tahun 2011-2012 memperoleh berita secara online mencapai 50%, sedikit lebih kecil dari televisi, tapi jauh melebihi surat kabar yang hanya mencapai 29% dan radio sekitar 33% (Macnamara, 2014:6). Responden mendapatkan berita dan informasi dari media dan jejaring sosial seperti blog, mikroblog (twitter), dan facebook sejumlah 19%. Sedangkan 8% lainnya mendengarkan podcast untuk mengakses berita dan informasi.

Media Sosial di Indonesia lebih cenderung memberikan opini pemberitaan politik melalui akun individu, kelompok, maupun pihak-pihak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber informasi yang layak dan dapat dipercaya. Direktorat Resrimsus Polda Metro Jaya mendeteksi ada ribuan akun media sosial dan media online yang menyalurkan informasi hoax, provokasi, hingga menyangkut suku, agama, ras, dan Antargolongan (SARA). Pelbagai macam kritik dan pendapat dalam unggahan media sosial inilah yang dapat menciptakan ketegangan sosial. Ideologi dan pandangan politik yang dibicarakan tanpa situasi kepala dingin dan jauh dari kaidan ilmiah, melahirkan kekacauan politik di dunia media sosial. Diskusi publik pun jauh dari rasa aman dan nyaman karena ketersinggungan individu/kelompok yang merasakan dan mengalami penghinaan dan pelecehan identitas.

Kekuatan dan popularitas media sosial, partai politik, institusi politik, kelompok-kelompok politik dan pelbagai identitas di masyarakat yang bersentuhan dengan pemerintah dan kekuasaan negara, berupaya memanfaatkan media sosial sebagai pendukung kekuatan untuk memengaruhi khalayak. Kelompok-kelompok politik ini menanggung opini untuk mengalahkan pihak yang tidak disukai dan secara berkesinambungan mengeksplorasi pesan dalam arena persaingan. (Jurnal ASPIKOM, Eko Harny Susanto, 2016).

Jika tidak ada basis intelektual dan keterbukaan terhadap pandangan berbeda, maka, keriuhan perdebatan politik bukan hanya menjadi ancaman keretakan antar masyarakat saja, bisa jadi, akan menjadi sebuah perpecahan yang bisa membuat terjadinya disintegrasi nasional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline