Setiap memasuki bulan Agustus, langit-langit Indonesia dipenuhi oleh bendera merah putih. Berkibar megah di halaman rumah, sekolah, kantor pemerintahan, bahkan di sudut-sudut gang kecil. Sang Merah Putih, dengan warna yang sederhana namun penuh makna, menjadi representasi kuat dari semangat kemerdekaan yang diwariskan oleh para pejuang bangsa. Namun, di tengah euforia nasionalisme yang kerap muncul secara simbolik setiap bulan kemerdekaan, muncul pertanyaan mendalam: Apakah pengibaran bendera itu masih menjadi refleksi dari kemerdekaan yang sejati, atau justru menjadi utopia yang terus diburu tanpa pernah benar-benar digapai ?
Bendera dan Simbol Sakralitas Nasional
Secara historis, bendera merah putih tak hanya sekadar kain berwarna dua. Ia adalah simbol darah dan tulang, semangat dan pengorbanan, nyawa dan cita-cita. Bahkan dalam tataran hukum, bendera negara diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, menunjukkan bagaimana negara menempatkannya sebagai entitas yang sakral. Penghinaan terhadap bendera bahkan dapat dipidana, sejajar dengan tindakan melawan simbol-simbol negara lainnya. Seperti mana kasus terbaru tentang siswa SDN Gondang 2 yang mencoret bendera merah putih dengan tulisan "Gaza 14". Mereka dikenakan hukuman dengan Pasal 154A KUHP: Penodaan terhadap lambang negara. Lalu, ancaman hukuman penjara hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Namun, makna sakral ini tak hanya bersumber dari undang-undang, tapi dari ingatan kolektif bangsa. Merah Putih adalah perwujudan nilai yang diperjuangkan: kebebasan dari penjajahan, hak untuk hidup layak, keadilan sosial, dan kesejahteraan bersama. Ia adalah janji. Sayangnya, janji itu semakin terasa jauh ketika realitas tak lagi sejalan dengan simbol.
Simbol Sakral dan Krisis Kepercayaan Kolektif
Dalam sosiologi klasik, Emile Durkheim menyatakan bahwa setiap masyarakat menciptakan simbol-simbol sakral untuk menjaga kohesi sosial. Simbol itu bisa berupa agama, tokoh nasional, atau bendera negara. Sakralitas ini bukan semata urusan transendental, melainkan kebutuhan sosial: manusia butuh sesuatu yang disepakati bersama sebagai lambang identitas dan nilai bersama.
Benedict Anderson, dalam karya terkenalnya Imagined Communities, menyebut nasionalisme sebagai "agama sipil". Dalam kerangka ini, bendera, lagu kebangsaan, dan upacara kemerdekaan menjadi semacam ritual kolektif yang menggantikan peran agama dalam menyatukan masyarakat modern. Bendera merah putih, dengan demikian, bukan hanya simbol negara, akan tetapi juga bagian dari iman kebangsaan yang dibangun secara sosial.
Namun, ketika simbol-simbol ini mulai digeser, ditantang, atau bahkan diparodikan seperti dalam fenomena bendera bajak laut One Piece, itu bukan semata bentuk pelecehan simbol, melainkan sinyal sosial. Ia mencerminkan krisis kepercayaan terhadap tatanan sakral-sekuler yang sedang berlaku. Ketika bendera negara tidak lagi dianggap mewakili keadilan atau harapan, maka masyarakat mencari simbol baru yang terasa lebih jujur terhadap kenyataan mereka.
Dalam konteks ini, pengibaran Merah Putih seharusnya tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi momen untuk mengevaluasi: Apakah simbol itu masih bermakna bagi rakyat? Ataukah ia hanya tinggal lambang kosong tanpa kepercayaan?
Utopia Kemerdekaan: Antara Cita dan Realita