Lihat ke Halaman Asli

Faisol

TERVERIFIKASI

Lahir di Jember - Jawa Timur, Anak ke 2 dari enam bersaudara.

Hubungan dengan Tuhan dan Manusia sebagai Fenomena Mengolah Rasa Menjadi Buah Karya

Diperbarui: 27 Mei 2021   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi :www//liputan6.com

"Dikala kesunyian menghampiri, dan di dalam diri sedang terjadi pergolakan yang dahsyat, Ingatlah masih ada Tuhan di dekat kita, Bahkan Ia lebih dekat dari Urat Leher"

_Faisol

Setiap makhluk yang bernyawa, tentu memiliki rasa, meski rasa itu tidaklah sama antara makhluk yang satu dengan makhluk lainnya.

Begitu pula dengan manusia, yang merupakan makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan lainnya, karena manusia di anugerahi perangkat paling lengkap, mulai dari perangkat yang kasar, sampai pada perangkat yang paling halus, dan tak terlihat oleh kasat mata, salah satunya adalah rasa, dimana manusia bisa merasakan berbagai macam kejadian dalam kehidupan sehari-hari, baik peristiwa sebelum, sedang dan yang akan terjadi. Disinilah uniknya manusia sebagai makhluk yang bisa berpikir dan berbicara.

Rasa itu ada dalam hati, yang bisa merasakan segala sesuatu yang bertautan dengan hati, sehingga ada istilah yang mengatakan, "yang bisa membaca hati, ya hati sendiri", artinya yang bisa merasakan sesuatu yang ada dalam hati, ya itu hati.

Terlepas istilah di atas salah ataupun benar, sangat tergantung dengan konsteknya, dimana rasa itu berlaku dalam dua hal, yakni rasa bahagia dan rasa derita. 

Sebagai makhluk yang normal, siapapun menginginkan bahagia itu selalu datang menghampiri dan menemani kita, tetapi tidak semua bahagia itu menjadi kebahagiaan tersendiri, sebab manusia dalam kehidupan sosial, akan selalu bertautan dengan manusia lainnya, tidak heran kemudian rasa itu selalu tumbuh dalam situasi dan kondisi kehidupan sosial sebagai salah satu bentuk bahwa manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan.

Para pujangga, penulis fiksi dan non fiksi, pekerja seni, dan berbagai macam profesi lainnya, selalu dihadapkan pada rasa dan logika, walaupun terkadang antara rasa dan logika tidak bisa menyatu, namun ketika di olah keduanya bisa saling bersinergi satu sama lain. 

Rasa dalam diri itu ibarat perpaduan alat musik, meski berbeda dalam dentumannya, namun di olah dalam kesatuan orkestra, dengan ketukan nada yang sama, dan di mainkan dengan skil dewa, tentu akan menghasilkan perpaduan bunyi yang sangat indah, dan bisa dirasakan langsung keindahannya dengan hati, begitu pula sebaliknya ketika perpaduan dalam diri kacau ditambah balau, maka akan terdengar seperti nuklir yang membuat telinga menjadi panas.

"Tuhan itu maha Indah, dan menyukai keindahan" begitu pula dari sebuah rasa menjadi sebuah karya bukan lantas terjadi dalam hitungan detik, namun selalu ada proses yang melatarbelakanginya. 

Rasa yang dipadukan dengan pikiran akan memunculkan sebuah gagasan, dan ketika gagasan diolah dalam realitas kehidupan akan menjadi kebiasaan, sehingga tidak salah, jika adat dan istiadat, merupakan bentuk gagasan yang dilatar belakangi oleh rasa itu sendiri, dan para pendahulu kita, mampu berjuang dengan bambu runcing, karena ada rasa yang sama untuk menjadi bangsa yang merdeka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline