Lihat ke Halaman Asli

Akbar Pitopang

TERVERIFIKASI

Berbagi Bukan Menggurui

Kisah Pejuang Sahur Ketika Klitih Mati Suri

Diperbarui: 10 April 2022   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sahur.| Sumber: Shutterstock/Odua Images via kompas.com

Jogja memang sudah dikenal sebagai kota pelajar. Di kota ini terdapat banyak sekolah maupun kampus yang keren. Tak heran jika Jogja dipilih sebagai kota tujuan untuk menuntut ilmu oleh pelajar yang datang dari seluruh penjuru Indonesia. Tak hanya dari wilayah Indonesia, ramai juga pelajar dari luar negeri yang ingin menimba ilmu di kota gudeg ini.

Saya termasuk salah satu pelajar luar daerah yang sempat bisa merasakan suasana kuliah di salah satu kampus di Jogja. Saya berasal dari Pulau Sumatra. Saya bisa kuliah di Jogja karena undangan yang datang ke sekolah asal. Saya termasuk siswa yang selalu nangkring di tiga besar, maka saya bisa lulus seleksi dan diterima sebagai salah satu mahasiswa undangan oleh sebuah kampus yang berlokasi di Jalan Laksda Adisucipto itu. Alhamdulillah.

Di Jogja saya tidak ada memiliki satu pun saudara atau kerabat. Hanya nyali dan tekad yang besar yang saya miliki yang membuat saya bisa terbang ke kota itu. Syukurnya juga ada beberapa calon mahasiswa dari sekolah asal saya yang juga sama-sama diterima sebagai calon mahasiswa di kampus yang sama.

Sehingga keberadaan mereka bisa menjadi pengganti keluarga inti selama di Jogja. Mereka menjadi orang terdekat sebagai tempat saling berbagi. tempat mencurahkan isi hati baik dalam keadaan sedih maupun senang.

Karena kami yang berasal dari satu sekolah yang sama tadi juga tidak memiliki sanak saudara di Jogja. Kami menjadi kebingunan saat hendak mencari tempat untuk ngekos. Setelah mencari informasi ke pihak sekolah ternyata ada alumni yang juga kuliah di sana.

Kebetulan mereka tinggal di asrama daerah khusus ditempati oleh mahasiswa yang berasal dari Sumbar. Akhirnya saya dan teman tadi juga ikut menumpang tinggal di asrama itu. Karena kami semuanya berasal dari daerah yang sama, rasa kekeluargaan sangat kental terasa dan terjalin dengan baik diantara kami, satu dengan yang lainnya.

Selama hampir 4 tahun lamanya saya menimba ilmu di Jogja. Selama itu pula kami merasakan lika-liku kehidupan yang jauh dari kehangatan dan canda tawa anggota keluarga inti. Menjadi anak rantau merupakan sesuatu pengalaman yang syahdu penuh haru.

Selama hampir 4 tahun menimnba ilmu di Jogja, 4 kali pula saya merasakan suasana ramadhan di sana. Karena kebetulan diawal-awal ramadhan, masih ada jam kuliah yang harus diikuti mahasiswa. Sehingga melaksanakan puasa di rantau harus dijalani dengan segala kekurangan yang ada namun dengan sikap penuh syukur.

Untuk keperluan berbuka puasa, kami mahasiswa menyediakannya sendiri. Ada yang beli ke warung makan. Dan ada pula yang yang menjadi "pejuang bedug" di masjid-masjid sekitar dengan terlebih dahulu mendengarkan tausiyah dari ustadz sebelum masuk waktu bedug.

Ilustrasi makan sahur. Foto/Ist via sindonews.com

Lalu, bagaimana dengan kondisi pada saat akan melaksanakan sahur? Suasana menjelang sahur merupakan suasana yang hectic dengan segala ke-rempongan-nya. Setiap anak rantau akan merasakan menjadi "pejuang sahur".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline