Dwianto Setyawan: Membanggakan Wong Mbatu Sae dengan Warisan Sastra yang Menggetarkan JiwaOleh : Lilik Anah
Di sudut bumi yang penuh warna dan cerita, ada sebuah kota yang namanya tak bisa dilepaskan dari sosok Dwianto Setyawan --- maestro sastra yang bukan hanya membanggakan warganya, tapi juga mengangkat martabat budaya lokal ke panggung nasional. Artikel ini menyelami bagaimana karya-karya Dwianto Setyawan merubah wajah Kota Batu menjadi lambang keindahan sastra dan identitas Wong Mbatu Sae yang penuh pesona dan kekayaan makna.
Apa jadinya sebuah kota tanpa jiwa?
Kota Batu , yang tak jarang disebut sebagai tanah kelahiran Dwianto Setyawan, tidak pernah kehilangan napas keindahan itu. Sebab, sang maestro yang lahir dan besar di kota Batu, telah membuat kota ini bukan sekadar titik geografis, melainkan pusat inspirasi dan kebanggaan yang membangun identitas Wong Mbatu Sae --- komunitas penuh warna yang mencintai budaya dan bahasa daerah.
Dwianto Setyawan adalah manifestasi hidup bahwa sastra bukan hanya soal kata-kata manis atau cerita fiksi belaka. Melalui karya-karyanya, ia melahirkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini Kota Batu. Ia mengangkat nilai-nilai lokal, adat istiadat, dan kisah-kisah sehari-hari menjadi mahakarya yang bukan hanya dibaca, tapi juga dirasakan hingga ke relung hati.
Sebagai pembawa suara Wong Mbatu Sae, Dwianto tak sekadar menulis. Ia berdialog dengan pembaca tanpa harus bertatap muka, mengajak mereka menjalani hidup bersama luhur budaya yang telah diwariskan nenek moyang. Lewat cerita anak dan remaja yang mengalun bak kidung, ia mengabadikan aroma tradisi dan perjuangan manusia Kota Batu yang sederhana namun kuat. Ada semacam kejujuran yang meresap setiap kali kita membaca karya-karyanya, seperti pelukan hangat dari desa halaman.
Bukan hanya itu, Dwianto Setyawan juga dikenal berhasil mengangkat bahasa lokal sebagai medium sastra yang elegan dan kaya. Dalam dunia yang seringkali mendewakan bahasa global, keberaniannya mempertahankan dan mengembangkan bahasa daerah memberikan suara bagi banyak orang yang mungkin selama ini merasa terpinggirkan. Lewat karya-karyanya, Wong Mbatu Sae dan Kota Batu menjadi sebuah simbol bahwa keunikan lokal tetap relevan dan punya daya tarik universal.
Mari bayangkan sebuah pertunjukan sastra di alun-alun Kota Batu, di mana warga berkumpul menyimak karya Dwianto yang dibacakan penuh semangat. Saat itu, bukan hanya sastra yang hidup, tapi semangat komunitas dan kebanggaan akan akar budaya yang membuat setiap orang merasa terhubung. Dwianto telah mewujudkan impian banyak orang---bahwa sastra mampu membangun jembatan, mencerahkan, serta mengokohkan identitas.
Karya tulis yang mengangkat Wong Sisir Gemilang Kota Batu oleh Dwianto Setyawan adalah cermin kebanggaan Wong Mbatu Sae. Ini bukan sekadar pengingat masa lalu, tetapi pendorong semangat untuk terus berkarya, belajar, dan menjaga warisan budaya. Dalam setiap kata dan kalimat, kita merasakan detak jantung sebuah komunitas yang tak pernah berhenti hidup dan berkreasi.
Sebagai penutup, kalau Anda ingin mengenal Kota Batu dan wong Mbatu sae lebih dalam, tak ada cara yang lebih baik daripada membaca karya-karya Dwianto. Di sana, kita tidak hanya menemukan cerita, tapi juga jiwa dan cinta yang membanjiri kota itu. Sebuah warisan tanpa batas yang akan terus menerangi langkah-langkah generasi mendatang.
Kota Batu dan Wong Mbatu Sae, melalui Dwianto Setyawan, mengingatkan kita: kebanggaan dan identitas lahir dari keberanian memelihara akar, dan kekuatan sastra adalah bahasa yang mampu menyuarakan itu dengan indah.