Lihat ke Halaman Asli

A Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Jakarta dan Ribuan Harapan Orange

Diperbarui: 26 April 2025   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana antrean pencari kerja sebagai penyedia jasa lainnya perorangan di Balai Kota Jakarta, Rabu (23/4/2025). (KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)

Jakarta dalam Antrean: Ketika Balai Kota Jadi Panggung Harapan Rakyat

Balai Kota Jakarta, yang biasanya identik dengan pertemuan resmi dan administrasi kenegaraan, berubah menjadi tempat penuh harapan saat rekrutmen PPSU dibuka. Ribuan pelamar dari berbagai penjuru kota datang membawa setumpuk berkas dan secuil harapan. Ada yang mengenakan kemeja rapi, ada pula yang bersandal jepit, tapi semuanya punya satu tujuan: mendapat pekerjaan yang tetap dan terstruktur. 

Profesi sebagai Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), yang dulu tak begitu dilirik, kini menjadi primadona karena dianggap sebagai pekerjaan yang memberi kepastian di tengah ketidakpastian ekonomi. 

Di sinilah letak ironi Jakarta, kota megapolitan yang menawarkan kemewahan digital, tapi di saat bersamaan menyuguhkan antrean panjang demi posisi pekerjaan fisik dasar.

Banyak di antara para pelamar adalah korban PHK, pekerja informal yang kehilangan pelanggan, atau warga yang tak mampu bersaing di sektor digital. Mereka rela antre sejak subuh, bahkan membawa bekal makan, karena tahu kuota yang dibuka terbatas. 

Beberapa pelamar bahkan datang lebih awal hanya agar bisa dapat nomor antrean lebih kecil. Ini bukan sekadar pencarian kerja, tapi perjuangan eksistensial untuk bertahan hidup di kota yang keras. Balai Kota, yang menjadi tempat elite berbicara tentang pembangunan, justru hari itu dipenuhi oleh suara rakyat yang ingin ikut membangun Jakarta lewat sapu lidi dan ember.

Bukan Sapu dan Ember Semata: PPSU sebagai Simbol Ketahanan Urban

Profesi PPSU sering dipandang remeh, dianggap sebagai pekerjaan kelas bawah yang tidak perlu keterampilan tinggi. Tapi faktanya, mereka adalah tulang punggung operasional harian kota. Tanpa PPSU, selokan akan mampet, taman akan terbengkalai, dan wajah kota akan berubah kusam. Mereka bekerja dalam diam, tapi pengaruhnya nyata. 

Di balik seragam oranye, ada etos kerja tinggi, dedikasi, dan keinginan untuk hidup lebih baik. Itulah sebabnya posisi ini begitu diminati. Selain pendapatan tetap yang mengalahkan penghasilan rata-rata pekerja informal, PPSU juga menawarkan keamanan sosial: BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, cuti, serta penugasan yang terstruktur.

Dalam banyak kasus, PPSU bahkan menjadi simbol mobilitas sosial. Tak sedikit mantan pekerja PPSU yang kemudian bisa menyekolahkan anaknya lebih tinggi, membayar kontrakan tepat waktu, dan bahkan mencicil sepeda motor. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline