QRIS Tak Sekadar Barcode: Inilah Keris Modern Penjaga Ekonomi Digital RI
Dari Barcode ke Keris: Simbol Baru Kemandirian Finansial
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia, dari gerobak bakso pinggir jalan, masjid, sekolah, hingga koperasi dan BUMDes. Ia menyederhanakan transaksi hanya dengan satu barcode terpadu, menggantikan tumpukan QR code dari berbagai platform yang dulu membingungkan pelaku usaha kecil. Tapi lebih dari sekadar alat pembayaran, QRIS kini menjadi simbol politik digital yang lebih luas. Dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, QRIS dan GPN disebut sebagai penghalang perdagangan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Ini bukan pertama kalinya kemandirian teknologi dari negara berkembang disorot negatif oleh negara maju.
Namun di Indonesia, QRIS tak sekadar singkatan teknis. Ia bahkan kerap diplesetkan menjadi "Keris", sebuah simbol budaya yang mendalam. Keris adalah warisan budaya tak benda Indonesia yang diakui UNESCO sejak 2005, melambangkan kehormatan, tanggung jawab, kemerdekaan, hingga spiritualitas. Ketika QRIS disebut "keris digital", itu bukan sekadar candaan, tapi representasi dari semangat Indonesia untuk membangun sistem finansial mandiri yang tidak bergantung pada infrastruktur asing. Di tengah tekanan global, QRIS adalah langkah afirmatif, bukti bahwa negara ini tidak hanya ingin jadi pasar, tapi juga tuan rumah di negeri sendiri.
Standar Global atau Standar Ganda?
Tudingan USTR terhadap QRIS dan GPN sebagai penghambat perdagangan seolah menegasikan fakta bahwa sistem ini justru dibangun di atas standar internasional. QRIS mengacu pada spesifikasi EMVCo (Europay, Mastercard, dan VisaCo), standar global yang digunakan banyak negara untuk memastikan interoperabilitas dan keamanan transaksi berbasis QR code. India punya Bharat QR, Thailand punya PromptPay, Singapura punya SGQR, semuanya dibangun atas prinsip serupa. Bahkan Bank Indonesia telah mendorong integrasi lintas batas antara QRIS dengan negara-negara ASEAN, termasuk kerja sama pembayaran lintas negara dengan Thailand dan Malaysia yang mendukung transaksi lintas negara berbasis mata uang lokal.
Namun, mengapa ketika negara-negara Asia lain melakukan hal serupa, tidak menjadi sorotan? Mengapa ketika Indonesia mulai membangun "gerbangnya sendiri", justru dianggap sebagai eksklusi? Di sinilah ironi standar global terkuak. Amerika Serikat sendiri memiliki sistem pembayaran domestik seperti Zelle, Venmo, dan ACH yang tidak dibuka untuk mitra asing, tapi sistem itu tak pernah dicap sebagai hambatan. Maka tudingan terhadap QRIS terasa sebagai bagian dari standar ganda dalam sistem perdagangan digital global. Negara maju ingin sistem terbuka jika mereka yang pegang kendali, tapi menutup ketika negara berkembang bangun kemandirian. Narasi "interoperabilitas" dijadikan dalih, padahal yang sedang dipertaruhkan adalah siapa yang memegang kendali atas data dan arsitektur sistem.
Mengapa Trump (Masih) Serang QRIS?
Donald Trump sebagai Presiden AS, memiliki pengaruh terhadap arah ekonomi dan politik luar negeri AS, terutama dalam hal proteksionisme digital. Semangat Trumponomics lewat perang dagang dengan Tiongkok, kini menjelma dalam tekanan terhadap negara-negara berkembang yang mulai membangun sistem sendiri. QRIS pun tak luput dari sorotan. Trump dan lingkarannya paham, QRIS bukan hanya tentang efisiensi pembayaran, tapi juga tentang kedaulatan atas data dan kontrol arsitektur ekonomi digital. QRIS tidak tunduk pada otoritas Silicon Valley. Ia tak berbagi data pengguna ke luar negeri. Ia tidak mengambil margin atau fee dari UMKM seperti platform asing. Dan yang paling penting, ia berada dalam pengawasan Bank Indonesia, bukan korporasi asing.
Bagi Trump dan para pelobi di Washington, ini adalah ancaman langsung terhadap dominasi platform global asal AS. Sama seperti saat mereka menyerang Huawei karena membangun ekosistem teknologi sendiri, atau TikTok karena tidak dikontrol oleh mereka, kini QRIS dianggap penghambat karena membangun pagar digital nasional. Ketika perusahaan AS kehilangan akses langsung ke sistem pembayaran nasional, itu bukan sekadar soal bisnis, tapi kekalahan dalam perang kendali. Maka serangan terhadap QRIS adalah bagian dari pola lama: siapa pun yang membangun sistem alternatif akan dianggap musuh. Indonesia hanya ingin membangun sistem yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan sendiri. Tapi bagi mereka yang terbiasa memegang kendali global, itu cukup untuk dianggap membangkang.